Jumat, 24 April 2015

Sekilas Cerita Tentang Ustaz Hasbullah


Hari ini melihat postingan sekolah qur’an dan hadis dari seorang guruku dulu. Lazimnya kami memanggilnya dengan sebutan ustaz. Alhamdulillah ustaz sudah membuka sendiri sekolah yang menjadikan Alqur’an dan hadis sebagai pondasi awal dari pendidikan. 
 
Tetiba jadi ingat bagaimana ketika beliau dulu mengajar kami di pondok. Namanya ustad Hasbullah Ahmad Daeng Masalleh. Dari namanya sudah tahu kan kalau ustaz ini bersuku bugis. Salah satu ustaz yang tak pernah aku tidur kalau beliau yang mengajar, hehe. Asal tahu aja, dulu itu aku langganan tidur di kelas, lebih tepatnya tertidur sih, tapi kadang-kadang juga sengaja menidurkan diri. Nggak tahu kenapa ya mungkin karena glukosa yang tidak terbakar setelah sarapan sama sambal tribol alias teri main sepak bola kacang tanah. Terus jalan dari asrama ke kelas cuma hitungan menit. Setengah jam ustaz ustazah menyampaikan pelajaran kalau gayanya monoton dan ditambah lagi aku tidak mengerti apa yang dijelaskan alamat sudah mataku mulai berat. Perkataan mereka seolah berubah menjadi dongeng indah yang membuat aku jatuh tertidur. Hebatnya, aku nggak pernah tidur jika ustaz Hasbullah yang mengajar. Tau kenapa? Karena, selalu menarik mendengarkan ustaz berbicara, menyampaikan pelajaran dengan cerdas dan ikhlas. Belum lagi jika menyimak cerita-ceritanya yang bikin aku iri luar biasa. 

Salah satunya, Ustaz pernah cerita diajak umroh gratis sama orang Malaysia di bulan Ramadhan, kemudian sholat tarawihnya berada di shaf bagian depan.  Persis di depan ka’bah. Coba bayangkan, di bulan puasa, bulan yang penuh berkah, di baitullah rumah pertamanya Allah, di barisan paling depan pula,  yaitu sebaik-baiknya shaf bagi jamaah laki-laki. Saat itu aku segera membayangkan suatu saat aku juga berada di depan ka’bah di bulan penuh berkah. Entah kapan waktunya aku serahkan pada Allah subhanawata’ala.

Ustaz selalu sabar dalam mengajar. Ingat sekali saat disuruh menghafalkan surat Aljumuah ayat 10 dan Alhujarat ayat 11. Waktu itu kitanya protes keras. Kelas kami paling banyak protes deh pokoknya, akibatnya dapat gelar kelas baltoji (preman) dari ustaz yang lain, dan sedihnya aku pula yang jadi ketua kelasnya dua tahun berturut-turut pula. Nggak minta sih, tapi kepaksa oleh suara terbanyak.

“Ustaz, ustaz- ustazah sebelumnya nggak ada nyuruh ngapalin kok Taz.” Waktu itu kami duduk di kelas tingkat akhir. Mungkin sebenarnya ustaz mau membekali kami dengan beberapa ayat dan hadis yang nantinya bisa disampaikan pada orang lain.

“Dicoba dulu.” Dengan sabar ustaz berusaha tidak menyerah.

“Tugas hafalan kita yang lain kan udah banyak taz, juz 30 aja belum tamat-tamat.” Kami itu mangkelnya luar biasa. Tiga tahun di ponpes cuma hafal juz 30 saja, ngapalin yang diwajibin saja. Padahal tiga tahun bisa saja hafal 30 juz, sungguh terlalu. 

Tapi ustaz tidak kehabisan akal. Akhirnya dihafallah itu ayat bareng-bareng. Ustaz baca, terus kita ikutin. Karena suara ustaz merdu lama-lama kita jadi senang ngapalinnya. Suara ustaz yang merdu bikin semangat buat menghafalkan potongan ayat Alqur’an dan hadis yang diajarkannya pada kami.

Seingatku Ustaz juga nggak pernah memarahi kami. Ciri khasnya itu selalu tersenyum lebar lima senti ke kanan lima senti ke kiri dan ditahan lima menit, kayaknya lebih lima menit deh. Kalau kitanya nakal biasanya dinasehati dengan lemah lembut. Makanya, kalau ada ustaz-ustazah yang berhalangan hadir, kita biasanya dengan senang hati minta ustaz Hasbullah yang gantiin. 

Dan ustaz juga paham sekali dengan keadaan santri-santrinya. Pernah suatu ketika kami, aku dan Vika selesai belajar kelas sore dan bertemu ustaz yang baru datang dari luar. Terus kita iseng aja mau pinjam motor ustaz buat muter-muter keluar.

“Ustaz pinjam motor ya kita mau jalan-jalan sebentar aja. Refreshing taz belajar terus ni buat UN.” Sambil pasang tampang semelas mungkin. Kening ustaz berkerut sebentar kemudian digantikan dengan senyum lebar.

“Ok, jangan jauh-jauh, jangan lama-lama ya.” Tangan ustaz menyodorkan kunci dengan senyum yang masih bertengger.

Aku dan Vika menyambutnya dengan senyum yang tak kalah sumringah. Kita pun meluncur keluar ponpes. Sesuai pesan ustaz nggak lama-lama cuma 10 menitan aja, tapi senangnya luar biasa. Bagi anak asrama dapat izin keluar pagar itu suatu berkah yang tak terkira. Karena kata izin adalah kata langka yang butuh usaha untuk mendapatkannya :) 

Banyak sekali yang beliau ajarkan pada kami, baik melalui lisan ataupun perbuatan. Salah satu pepatah arab yang sering ustaz ujarkan adalah
“ I’imal liddunyaka kaannaka taa’isyu ‘abada w’amal liakhirotika kaannaka tamutu ghoda” yang artinya “beramallah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok harinya.” Dan satu lagi kata-kata yang paling sering ustaz sampaikan ialah “Hidup ini bergerak, bergerak berarti ada perubahan. Bila hidup tidak ada perubahan berarti mati dalam kehidupan.”

Aku akan selalu ingat dengan dua kalimat ini.
Syukron jazakallah ya taz untuk ilmunya. Sukses terus untuk ustaz dan keluarga. 

Yogyakarta 24 April 2015