Subhanallah, luar biasa, dan sedikit malu. Itulah yang aku
rasakan saat melihat tayangan sebuah stasiun tv swasta yang mengangkat tema
tentang si miskin pun berhaji dan berkurban. Siapakah dua sosok yang luar biasa
itu? Ibu itu bernama Yati, seorang pemulung di Jakarta. Pada Hari Raya Idul
Adha kemarin Ibu ini membawa kambing ke mushola dekat rumahnya untuk
dikurbankan,Tidak tanggung-tanggung, bu Yati mengkurbankan 2 ekor kambing untuk
tetangga-tetangganya yang berprofesi sama. Luar biasa bukan. Dan sosok satu
lagi adalah Pak Madri seorang pemulung asal Palembang. Setelah menabung
bertahun-tahun, akhirnya tahun ini Pak Madri diizinkan Allah berkunjung ke
Mekkah; menginjakkan kaki di Baitullah. Pemulung saja rela mengurbankan
tabungannya untuk dibelikan hewan kurban. Apalagi kita, yang barangkali
mempunyai kelebihan harta yang lebih banyak dari mereka.
Selasa, 30 Oktober 2012
Rabu, 10 Oktober 2012
Episode 3 Suku Anak Dalam
Malam yang kesekian
kali kembali turun di Dusun Kuali Pecah Kelurahan Bajubang. Yupz, dusun kuali
pecah. Itulah nama asli tempat ini. Letaknya lumayan jauh dari keramaian
Bajubang. Salah satu alasan kami ditempatkan disini adalah karena keberadaan
Komunitas Suku Anak Dalam.
“Mungkin, adek-adek
mahasiswa bisa membantu orang dusun sana”. Ucap Bu Lurah tempo hari, saat kami
melakukan kunjungan ke kantornya.
Orang dusun atau orang
dalam adalah sebutan untuk suku asli Jambi tersebut.
“Wah, kito biso banyak
buat proker nih untuk SAD ni”. Celoteh teman-teman posko girang.
Dalam hati aku
mengiyakan. Mudah-mudahan prokernya benar-benar direalisasikan. Bukan sekedar
jepret sana jepret sini, ambil foto dan diberikan keterangan yang diada-adakan.
Menurut kakak-kakak tingkat, kebanyakan gitu sih. KKN hanya sekedar buat
laporan saja untuk nilai. Padahalkan KKN or Kukerta itu kepanjangan dari Kuliah
Kerja Nyata. Yang menurutku artinya Mata kuliah yang mengharuskan kita bekerja
dikehidupan nyata. Alias di masyarakat, untuk mengaplikasikan ilmu yang telah
kita dapatkan di bangku perkuliahan (tul nggak?)
Nah, back to SAD. Maka
sibuklah teman-teman posko menyusun rencana untuk mengerjai SAD. Huahh, kok
dikerjain, nggak ding. Maksudnya menyusun proker untuk orang-orang dalam itu.
Tak ketinggalan aku
juga tentunya .
Prokerku adalah mengajarkan anak-anak SAD baca tulis. Sesuai dengan jurusan
tentunya. Uni Vika yang satu-satunya mahasiswa Matematika langsung buat program
belajar berhitung. Mukhson yang anak biologi, nyerempet dikit ke kesehatan.
Buat program “Menggosok gigi yang benar Ala Nchon” Haha.
Uni Vika tak mau
ketinggalan. Turut ambil bagian di kesehatan. Mencuci tangan yang benar (Emang
ada ya nyuci tangan yang salah? Gak pake aer kali ya. Udah dulu ah, tobe
continue)
Pokoknya, malam itu
pada rebutan pingin buat proker untuk SAD. Untungnya gak pake tonjok-tonjokan,
peaceeeeee.
Senin, 08 Oktober 2012
Episode 2 Posko 16 Part 2
Pagi hari di Posko 16. Rutinitas kami di mulai dari bangun,
cuci muka ala kadarnya (sesuai dengan kadar air yang ada) kemudian
duduk-duduk di ruang serbaguna, yaitu ruang tamu, merangkap ruang makan,
ruang tengah dan ruangan tidur anak-anak cowok. Bahkan ketika malam
tiba, dapurpun berubah fungsinya menjadi tempat tidur. Bisa dibayangkan
dong sebesar apa posko kami. Rumah 4x7 yang idealnya dihuni oleh
sepasang suami istri, kini dihuni 8 mahasiswa dan 8 mahasiswi.
Sebenarnya kami para mahasiswi yang cantik-cantik ini (jiaaah, ya
iyalah, kan nggak mungkin ganteng, yg cowok dak boleh protes) sudah
mengajukan keberatan kepada Pak ketua. Hari pertama menginjakkan kaki di
Kuali Pecah. Turun dari bus, Wajah-wajah perempuan sepakat pasang
tampang cemberut 5 centi. Begitu masuk, ternyata kamar satu-satunya yang
kata bang budi untuk anak cewek nggak ada pintunya. Kecemberutan
bertambah menjadi 10 centi.
Terus pas ada yang mau ke belakang buang air. Eh ternyata wc nya ada nun jauh di sana di dalam semak-semak. Kenapa? rupa-rupanya wcnya, masih menggunakan leher tanah, bukan leher angsa atau wc nyemplung ke kali Batanghari. Haduuh, bisa gaswat ni urusan kalo yang berhubungan dengan hajat perut. Kecemberutan kami berlipat ganda jadi 20 centi. Malamnya dibukalah rapat perdana Posko 16. Masalah yang dibahas tentunya bisa ditebak kan.
“Bang biso dak kito ni pindah rumah, yang lebih besak dikit kek”. suara 1
“Ehmmm, kekmano yo cuman inilah rumah yang kito dapat”. Menjelaskan
“ Dak tu, disini posko cowoknyo, nah yang cewek-cewek pindah ke rumah yang lain, kekmano biso dak Bang?” suara 2 memberikan usulan. Dari cewek tentunya.
“ Iyo, jadi kan dak sesak nian kekgini, nak duduk be susah na.”Suara 3 mendukung suara 2 dengan sedikit emosi. Bang Budi menatap Iwan. Iwan balas menatap penuh arti (hehe, ini sedikit didramatisir). Pak Ketua menarik nafas panjang. Kami bersiap-siap mendengarkan suara mahal Pak ketua yang jarang bicara itu.
“Sebenarnyo tu, ado rumah yang biasonyo di tempati untuk mahasiswa KKN.”
Wajah perempuan sedikit cerah.
“Tapi, sekarang ni orang yang punyo rumah tu dak mau lagi. Kareno, pas anak STKIP yang KKN kemaren tu ado buat masalah. Dak taulah masalahnyo apo, yang jelas Ibu tu dak mau lagi”.
Wajah perempuan kembali mendung. Diplomasi gagal.
“Udahlah, kito jalani be dulu tinggal di rumah ni.” Bang Budi menengahi.
“Tapi, setidaknyo ado wc lah”. suara 4, dari perempuan
“Iyo bang, terus sumur bapak ni jugo dikit aeknyo, tadi sore be lah kering untuk mandi berapo orang be”. Suara 5 menambahkan.
Itu benar sekali, tadi sore kami perempuan yang nggak kebagian air akhirnya ngungsi ke tempat Pak Rt yang ada di atas. Dengan ngos-ngosan, sedikit nahan kebelet pipis. Begitu sampai di rumah Pak Rt langsung disambut dengan penjaga rumahnya. Coba tebak apa? Angsa putih yang suka nyodor-nyodor itu loh. Duh, duh, lengkap sudah penderitaan kami.
“Yuyun maulah nyumbang klosetnyo”. Yuyun yang punya toko bangunan menawarkan bantuan
“Gek aku yang beli semen” suara lain menimpali
" iyo, mau iuran lagi jugo dak papolah, yang penting urusan hajat ni biso tersalurkan" Suara 6 mendukung.
Akhirnya ada juga kepastian. Kami pun buat bisa wc sendiri, sumur sendiri. Walaupun kami harus menunggu beberapa minggu kemudian untuk bisa menikmatinya.
Terus pas ada yang mau ke belakang buang air. Eh ternyata wc nya ada nun jauh di sana di dalam semak-semak. Kenapa? rupa-rupanya wcnya, masih menggunakan leher tanah, bukan leher angsa atau wc nyemplung ke kali Batanghari. Haduuh, bisa gaswat ni urusan kalo yang berhubungan dengan hajat perut. Kecemberutan kami berlipat ganda jadi 20 centi. Malamnya dibukalah rapat perdana Posko 16. Masalah yang dibahas tentunya bisa ditebak kan.
“Bang biso dak kito ni pindah rumah, yang lebih besak dikit kek”. suara 1
“Ehmmm, kekmano yo cuman inilah rumah yang kito dapat”. Menjelaskan
“ Dak tu, disini posko cowoknyo, nah yang cewek-cewek pindah ke rumah yang lain, kekmano biso dak Bang?” suara 2 memberikan usulan. Dari cewek tentunya.
“ Iyo, jadi kan dak sesak nian kekgini, nak duduk be susah na.”Suara 3 mendukung suara 2 dengan sedikit emosi. Bang Budi menatap Iwan. Iwan balas menatap penuh arti (hehe, ini sedikit didramatisir). Pak Ketua menarik nafas panjang. Kami bersiap-siap mendengarkan suara mahal Pak ketua yang jarang bicara itu.
“Sebenarnyo tu, ado rumah yang biasonyo di tempati untuk mahasiswa KKN.”
Wajah perempuan sedikit cerah.
“Tapi, sekarang ni orang yang punyo rumah tu dak mau lagi. Kareno, pas anak STKIP yang KKN kemaren tu ado buat masalah. Dak taulah masalahnyo apo, yang jelas Ibu tu dak mau lagi”.
Wajah perempuan kembali mendung. Diplomasi gagal.
“Udahlah, kito jalani be dulu tinggal di rumah ni.” Bang Budi menengahi.
“Tapi, setidaknyo ado wc lah”. suara 4, dari perempuan
“Iyo bang, terus sumur bapak ni jugo dikit aeknyo, tadi sore be lah kering untuk mandi berapo orang be”. Suara 5 menambahkan.
Itu benar sekali, tadi sore kami perempuan yang nggak kebagian air akhirnya ngungsi ke tempat Pak Rt yang ada di atas. Dengan ngos-ngosan, sedikit nahan kebelet pipis. Begitu sampai di rumah Pak Rt langsung disambut dengan penjaga rumahnya. Coba tebak apa? Angsa putih yang suka nyodor-nyodor itu loh. Duh, duh, lengkap sudah penderitaan kami.
“Yuyun maulah nyumbang klosetnyo”. Yuyun yang punya toko bangunan menawarkan bantuan
“Gek aku yang beli semen” suara lain menimpali
" iyo, mau iuran lagi jugo dak papolah, yang penting urusan hajat ni biso tersalurkan" Suara 6 mendukung.
Akhirnya ada juga kepastian. Kami pun buat bisa wc sendiri, sumur sendiri. Walaupun kami harus menunggu beberapa minggu kemudian untuk bisa menikmatinya.
Episode 1 POSKO 16
Assalamualaikum di, alhamdulillah pagi ini aku bangun dengan
badan yang cukup segar. Meski tidurnya harus seperti ikan asin, alias
berdempetan, kaki ketemu kaki. Memang kamar posko kami yang cuma satu
ini hanya berukuran 2x3 saja. Jadi, bisa dibayangkan dong seperti apa
bentuknya jika diisi dengan 8 mahasiswi.
Tak terasa sudah seminggu kami disini. Di posko 16 daerah Kelurahan Bajubang.
“ Kito dapat posko di Bajubang, kito dikasi tempat rumah dewek” kata Bang Budi, wakil ketua posko kami, saat kumpul posko di depan BAPEL.
“Rumahnyo enaklah, ado kamarnyo sekok untuk yang cewek-cewek gek”
“Rumah orang bekeluarga yo Bang?” Timpal Yoan yang jurusan Fisika
“Yang punyo rumah tu janda, Cuma mbak tu di minta tinggal di rumah bapaknyo dulu semantaro kito disano”. Ado tvnyo, banyak tanaman lagi. Ado sawo, kelapo asyiklah pokoknyo “ Tambah si Jimmy meyakinkan.
“Wcnyo ado dak?” Ririn antusiais bertanya untuk meyakinkan
“Adolah, masak rumah dak tek wc”. Pak ketua menjawab.
Aku yang bertindak sebagai sekretaris manggut-manggut aja, sibuk memikirkan pembagian jadwal piket. Kira-kira siapa yang rajin diantara mereka, jadi teman piketku, hehe duasar.
Akhirnya tibalah saat keberangkatan itu. Bus yang kami tumpangi melewati Bulian, dan mampir terlebih dahulu di desa sebelumnya untuk menurunkan mahasswa posko lain. Kira-kira hamper dua jam, bus pun berhenti. Aku melihat ke sebelah kanan. Deretan pohon sawit terhampar. Menoleh ke sebelah kiri, hanya ada dua rumah. Yang satu lumayan besar, dan satunya lagi, asli sangat kecil. Otakku langsung berpikir. Rumah yang mempunyai satu kamar pastilah rumah yang sangat kecil itu.
Oh My God, Masya Allah.
Yoan melongo. Aku segera menarik Vika beranjak dari bus. Tak sabar ingin memastikan. Tak salah lagi, Pak ketua sudah menunggu kami di sana. Seratus persen benar. Rumah yang sangat kecil itulah yang akan menjadi posko kami. POSKO 16.
Petualangan pun dimulai. Lets, begin……
Tak terasa sudah seminggu kami disini. Di posko 16 daerah Kelurahan Bajubang.
“ Kito dapat posko di Bajubang, kito dikasi tempat rumah dewek” kata Bang Budi, wakil ketua posko kami, saat kumpul posko di depan BAPEL.
“Rumahnyo enaklah, ado kamarnyo sekok untuk yang cewek-cewek gek”
“Rumah orang bekeluarga yo Bang?” Timpal Yoan yang jurusan Fisika
“Yang punyo rumah tu janda, Cuma mbak tu di minta tinggal di rumah bapaknyo dulu semantaro kito disano”. Ado tvnyo, banyak tanaman lagi. Ado sawo, kelapo asyiklah pokoknyo “ Tambah si Jimmy meyakinkan.
“Wcnyo ado dak?” Ririn antusiais bertanya untuk meyakinkan
“Adolah, masak rumah dak tek wc”. Pak ketua menjawab.
Aku yang bertindak sebagai sekretaris manggut-manggut aja, sibuk memikirkan pembagian jadwal piket. Kira-kira siapa yang rajin diantara mereka, jadi teman piketku, hehe duasar.
Akhirnya tibalah saat keberangkatan itu. Bus yang kami tumpangi melewati Bulian, dan mampir terlebih dahulu di desa sebelumnya untuk menurunkan mahasswa posko lain. Kira-kira hamper dua jam, bus pun berhenti. Aku melihat ke sebelah kanan. Deretan pohon sawit terhampar. Menoleh ke sebelah kiri, hanya ada dua rumah. Yang satu lumayan besar, dan satunya lagi, asli sangat kecil. Otakku langsung berpikir. Rumah yang mempunyai satu kamar pastilah rumah yang sangat kecil itu.
Oh My God, Masya Allah.
Yoan melongo. Aku segera menarik Vika beranjak dari bus. Tak sabar ingin memastikan. Tak salah lagi, Pak ketua sudah menunggu kami di sana. Seratus persen benar. Rumah yang sangat kecil itulah yang akan menjadi posko kami. POSKO 16.
Petualangan pun dimulai. Lets, begin……
Minggu, 07 Oktober 2012
Goresan Malam
Adalah sendiri yang menyelimuti malam ini
Sepi mendesak, memanjat, perih
Menyisakan igauan di alam mimpi
Lelah melewati ribuan malam
Mencari secercah cahaya di pagi hari
Adalah Rabbi yang tersebut di hati
Dzikir, fikir, lewati malam
Sering kubertanya mengapa?
Badai terkadang datang tanpa hujan
Topan menjelma tanpa angin
Malam pun hadir tanpa siang
Adalah sepi, sendiri di sini.
6 okt 2012, 20:00
Sepi mendesak, memanjat, perih
Menyisakan igauan di alam mimpi
Lelah melewati ribuan malam
Mencari secercah cahaya di pagi hari
Adalah Rabbi yang tersebut di hati
Dzikir, fikir, lewati malam
Sering kubertanya mengapa?
Badai terkadang datang tanpa hujan
Topan menjelma tanpa angin
Malam pun hadir tanpa siang
Adalah sepi, sendiri di sini.
6 okt 2012, 20:00
Langganan:
Postingan (Atom)