Habis ngunjungin blog
sebelah, isinya cerita tentang kegalauan memilih jurusan waktu mau
kuliah. Tetiba, aku jadi ingat masa-masa itu juga.
Galau pilih jurusan? Sama, dulu kakak (jadi merasa udah tua deh) juga
begitu loh adek-adek. Berawal dari Aliyah, aku jadi suka sekali dengan
bahasa Inggris, selain gurunya asyik, anggapanku dulu keren aja gitu lo
bisa cas cis cus pake bahasa Internasional dan ntar biar gampang kalau
mau keluar negri. Tiga tahun berjalan, diakhir kelulusan dapat tawaran
beasiswa dari Kemenag untuk lanjut di UGM. Ah, senangnya bukan kepalang,
meski awalnya aku ngincernya ke UI. Tapi, UGM juga oke punya kan. Aku
sudah membayangkan, kalau S1 di Pulau Jawa, S2 mungkin bisa di luar
negara. Sayangnya, kesenanganku itu tidak dibarengi dengan usaha yang
luar biasa. Yang berhasil lulus di UGM adalah si Chandra sepupuku, bukan si
Chandri, meski kita tes lewat jalur yang berbeda. Akhirnya mimpi jadi
mahasiswa yang bisa kuliah gratisan di FIB UGM Sastra Inggris hanya
terwujud dalam angan saja. Hiks, sedihnya diriku kala itu. Tapi, hidup
harus terus dilanjutkan sodara-sodara. Gagal kuliah di Pulau Jawa, Pulau
Sumatera jadi alternatif satu-satunya, nggak pake keluar kota pula,
hehe.
Pilihan terakhir, aku pun mendaftar di Universitas Negeri
satu-satunya di kotaku. Nah, disinilah kegalauanku mulai muncul.
Inginnya aku ambil bahasa Inggris lagi, tapi bukan menjadi guru.
Masalahnya di Universitas Jambi belum ada FIB adanya FKIP. Padahal aku
nggak ada niat jadi guru sebelumnya. Setelah beberapa minggu terdilema,
ujung-ujungnya pilihan pertamaku kujatuhkan pada bahasa Inggris dan
pilihan kedua pada bahasa Indonesia. Kali ini aku belajar
sungguh-sungguh untuk menghadapi SPMB, kalau sekarang namanya SNMPTN ya?
Atau sudah berubah lagi? Suka gonta-ganti nama sih. Alhamdulillah,
usahaku tak sia-sia, aku lulus SPMB, tapi bukan pilihan pertama
melainkan pilihan kedua. Hiks sedihnya aku tak bisa digambarkan dengan
kata-kata (alay ya).
Awal-awal kuliah, aku jauh dari kata semangat. Intinya, aku terpaksa kuliah di jurusan bahasa Indonesia, jadi guru pula.
Kalau ditanya “Kuliah jurusan apa?”
“Bahasa Indonesia.”
” Loh, kan kita sudah bisa bahasa Indonesia, kenapa harus kuliah bahasa Indonesia lagi?”
Kalau boleh bilang waktu itu, sakitnya tuh disini. Ternyata pandangan
beberapa orang tentang kuliah bahasa Indonesia menyedihkan sekali.
Sampai suatu ketika teman sekelasku berkata “Bahasa Indonesia itu akan
selalu ada, karena dia bahasa negara kita.” Mulai dari sana, aku
menyadari pentingnya bahasa Indonesia. Coba bayangkan saja kalau tidak
ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mau pakai bahasa daerahnya
siapa coba? Secara Indonesia yang kaya ini punya beribu bahasa.
Menetapkan bahasa negara itu bukan perkara mudah. Banyak contoh negara
yang harus berjuang dengan cerita yang panjang, penuh konflik hanya
untuk menetapkan bahasa nasional negara. Sebut saja Filipina, India,
Belgia bahkan Amerika baru menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa
resmi negara di tahun 2006. Dan kita, sejak bahasa Indonesia ditetapkan
sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928, alhamdulillah tidak ada
yang protes. Suku jawa, bugis, batak, semua menerima dengan lapang dada. Tidak ada
kecemburuan sosial. Maka, sudah sepatutnya kita berterimakasih pada para
pemuda yang mendeklarasikan sumpah pemuda waktu itu. Sudah selayaknya
kita berterimakasih pada bahasa Indonesia yang menjadi pemersatu bangsa
kita. Dan, tidak ada salahnya juga kalian berterimaksih kepada kita
anak-anak yang memilih jurusan bahasa Indonesia, hehe :) .
Dari perenungan panjang aku mulai mengubah cara pandangku terhadap
bahasa Indonesia. Lagipula, kuliah jurusan bahasa Indonesia bukan
berarti nggak bisa belajar bahasa Inggris kan. Pikiranku dulu dangkal
sekali.
Aku mulai semangat kuliah, ditambah lagi ada kelas kekhususan sesuai
minat masing-masing. Ada kelas teater, sastra dan jurnalistik. Pilihanku
jatuh pada jurnalistik. Kenapa? karena niatnya ambil sastra inggris itu
untuk jadi wartawan, biar bisa keliling dunia gratisan, hehe. Semester
tujuh, kita pun dimagangkan di media cetak dan elektronik. Waktu itu aku
dan kelompokku dimagangkan di TVRI Jambi. Dua bulan magang, aku mulai
pikir ulang untuk menjadi wartawan. Kerja dibawah tekanan, jam sekian
draf berita harus naik dan besok harus sudah punya topik. Belum lagi
godaannya, kalau nggak kuat iman bahaya sodara-sodara. Tawaran dari
pimred untuk melanjutkan magang pun kami tolak, kecuali temanku Abdul
Manan seorang yang sekarang sudah jadi wartawan tetap di sana.
Alih-alih jadi wartawan, menjadi guru ternyata lebih menyenangkan.
Bisa mencerdaskan anak bangsa dengan bahasa Indonesia. Secara bahasa
Indonesia kan bahasa nasional, bahasa pengantar, bahasa yang dipakai
buat siswa belajar dan guru mengajar. Dan siapakah yang mengajarkan
bahasa Indonesia kepada mereka semua? Kita loh, guru bahasa Indonesia.
Nggak sombong sih, tapi memang iya kan :). Mau jadi dokter kek, akuntan
kek, pegawai kek, guru mtk, guru fisika, bahkan guru bahasa Inggris pun
semuanya mesti belajar bahasa Indonesia dulu.
Lebih kurang satu tahun setengah mengajar, aku mulai berpikir untuk
mencoba profesi yang lain. Bagaimana kalau aku mencoba untuk menjadi
gurunya untuk calon guru yang kelak mengajarkan bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah. Alias dosen. Keinginanku bersambut dengan dibukanya
penawaran Beasiswa BPPDN. Kalau S1 tak bisa ke Pulau Jawa dan dapat
beasiswa, semoga S2 ini bisa mendalami ilmu di sana plus beasiswanya.
Dan Alhamdulillah Allah yang Maha Baik mengabulkan pintaku. Lanjut S2
dengan beasiswa di Pulau Jawa, di kota pelajar. Kota yang dulu kuimpikan
untuk menimba ilmu semasa S1. Walaupun bukan di UGM, tapi di kampus
tetangganya alias UNY, aku sudah sangat bersyukur sekali.
Tiada henti syukurku padamu ya Allah. Nikmat-Mu yang mana lagikah
yang bisa aku dustakan. S1 nggak bisa keluar pulau, alhamdulillah S2
kesampaian. S2 belum bisa keluar negeri, mungkin Allah izinkannya nanti
ketika aku ingin S3 atau setelah aku menyandang gelar S3 (baca istri)
untuk mendampingi suami ;)
Oya, terimakasih bahasa Indonesia, kalau dulu aku menjadikanmu yang
kedua, itu karena aku tak mengenalmu. Sekarang, kau satu-satunya dan
yang utama. Terimakasih bahasa Indonesia, aku padamu.
Chan F San
Yogyakarta 14 Maret 2015