Pagi hari di Posko 16. Rutinitas kami di mulai dari bangun,
cuci muka ala kadarnya (sesuai dengan kadar air yang ada) kemudian
duduk-duduk di ruang serbaguna, yaitu ruang tamu, merangkap ruang makan,
ruang tengah dan ruangan tidur anak-anak cowok. Bahkan ketika malam
tiba, dapurpun berubah fungsinya menjadi tempat tidur. Bisa dibayangkan
dong sebesar apa posko kami. Rumah 4x7 yang idealnya dihuni oleh
sepasang suami istri, kini dihuni 8 mahasiswa dan 8 mahasiswi.
Sebenarnya kami para mahasiswi yang cantik-cantik ini (jiaaah, ya
iyalah, kan nggak mungkin ganteng, yg cowok dak boleh protes) sudah
mengajukan keberatan kepada Pak ketua. Hari pertama menginjakkan kaki di
Kuali Pecah. Turun dari bus, Wajah-wajah perempuan sepakat pasang
tampang cemberut 5 centi. Begitu masuk, ternyata kamar satu-satunya yang
kata bang budi untuk anak cewek nggak ada pintunya. Kecemberutan
bertambah menjadi 10 centi.
Terus pas ada yang mau ke belakang buang air. Eh ternyata wc nya ada
nun jauh di sana di dalam semak-semak. Kenapa? rupa-rupanya wcnya, masih
menggunakan leher tanah, bukan leher angsa atau wc nyemplung ke kali
Batanghari. Haduuh, bisa gaswat ni urusan kalo yang berhubungan dengan
hajat perut. Kecemberutan kami berlipat ganda jadi 20 centi. Malamnya
dibukalah rapat perdana Posko 16. Masalah yang dibahas tentunya bisa
ditebak kan.
“Bang biso dak kito ni pindah rumah, yang lebih besak dikit kek”. suara 1
“Ehmmm, kekmano yo cuman inilah rumah yang kito dapat”. Menjelaskan
“ Dak tu, disini posko cowoknyo, nah yang cewek-cewek pindah ke rumah
yang lain, kekmano biso dak Bang?” suara 2 memberikan usulan. Dari
cewek tentunya.
“ Iyo, jadi kan dak sesak nian kekgini, nak duduk be susah na.”Suara 3
mendukung suara 2 dengan sedikit emosi. Bang Budi menatap Iwan. Iwan
balas menatap penuh arti (hehe, ini sedikit didramatisir). Pak Ketua
menarik nafas panjang. Kami bersiap-siap mendengarkan suara mahal Pak
ketua yang jarang bicara itu.
“Sebenarnyo tu, ado rumah yang biasonyo di tempati untuk mahasiswa KKN.”
Wajah perempuan sedikit cerah.
“Tapi, sekarang ni orang yang punyo rumah tu dak mau lagi. Kareno,
pas anak STKIP yang KKN kemaren tu ado buat masalah. Dak taulah
masalahnyo apo, yang jelas Ibu tu dak mau lagi”.
Wajah perempuan kembali mendung. Diplomasi gagal.
“Udahlah, kito jalani be dulu tinggal di rumah ni.” Bang Budi menengahi.
“Tapi, setidaknyo ado wc lah”. suara 4, dari perempuan
“Iyo bang, terus sumur bapak ni jugo dikit aeknyo, tadi sore be lah kering untuk mandi berapo orang be”. Suara 5 menambahkan.
Itu benar sekali, tadi sore kami perempuan yang nggak kebagian air
akhirnya ngungsi ke tempat Pak Rt yang ada di atas. Dengan ngos-ngosan,
sedikit nahan kebelet pipis. Begitu sampai di rumah Pak Rt langsung
disambut dengan penjaga rumahnya. Coba tebak apa? Angsa putih yang suka
nyodor-nyodor itu loh. Duh, duh, lengkap sudah penderitaan kami.
“Yuyun maulah nyumbang klosetnyo”. Yuyun yang punya toko bangunan menawarkan bantuan
“Gek aku yang beli semen” suara lain menimpali
" iyo, mau iuran lagi jugo dak papolah, yang penting urusan hajat ni biso tersalurkan" Suara 6 mendukung.
Akhirnya ada juga kepastian. Kami pun buat bisa wc sendiri, sumur
sendiri. Walaupun kami harus menunggu beberapa minggu kemudian untuk
bisa menikmatinya.