Pagi itu kami sibuk berdisksi.
Yups, rencananya kami ingin melakukan survey ke pemukimannya SAD. Mau liat-liat
bagaimana kondisi rumahnya, orangnya, segalanya deh pokoknya. Dengan semangat,
sdikit cemas, kami pun memulai survey hari itu. Kenapa cemas?Konon katanya,
orang-orang SAD dipercaya mempunyai ilmu-ilmu ajaib sakti mandraguna, Karena
itulah, sebelum berangkat tadi, bahkan malam tadi begitu banyak hal-hal
pantangan yang harus kami ingat-ingat.
“Ingat, jangan ludah sembarangan”.
Jangan yang pertama
“Nantek kito dak biso balek lagi ke
jambi, ha”. Seram kan
“Jangan pasang muko dak suko” Maka,
kami pun bersiap-siap pasang tampang iklan “senyum pepsodent”
Jangan ngomong sembarangan” Jangan
yang ketiga. Kami pun mulai berpikir, kira-kira yang mau ditanyain ntar apa aja ya, jangan
nyampe deh salah omong.
“Jangan bertingkah yang aneh-aneh”.
Jangan yang keempat. Rasa-rasanya kami nggak ada yang aneh deh, normal semua
Dan jangan yang terakhir”
Jangan-jangan ntar SADnya naksir ma kita-kita “. Huaa ini jangan yang
mengerikan, takut dipelet segala macam dah.
Pikiran-pikiran itu terus
menghantui kami selama di perjalanan. But, ternyata, sepertinya,..kekhawatiran
kami itu terlalu berlebihan deh. Sebab, setelah kami bertemu dan menyapa
mereka,semuanya menampakkan wajah yang bersahabat.Tidak ada yang sangar,
apalagi bawa-bawa tombak seperti yang sering aku lihat di primitive runway.
Alhamdulillah disini SADnya sudah semi modern. Tidak ada lagi yang mengenakan
baju ala kadarnya alias cawat atau kain saja. Namun, yang jelas mereka masih
tidak terlalu memperhatikan kebersihan rumah dan pakaiannya. Oya, mereka juga
sudah menetap di rumah papan semi permanen yang dibuatkan oleh Pt minyak yang
beroperasi di Bajubang. Dulunya, sih kata Bu Lurah mereka masih nomaden dari
lahan ke lahan (tanah kosong). Rumah yang warna catnya sudah pudar itu
kira-kira berukuran 4x6. kalau teman, pernah lihat rumah transmigrasi, seperti
itulah bentuknya. Satu rumah bisa dihuni lebih dari satu kepala keluarga.
Panggilannya adalah Datuk, dia adalah satu-satunya sesepuh yang masih ada.
Dirumahnya, datuk juga tinggal bersama anak, dan cucunya. Kebetulan saat kami
berkunjung kerumahnya hari itu, si nenek baru saja selesai makan siang. Nenek
makan di atas lantai semen yang sudah hancur menyisakan tanah saja.Dan yang
memprihatinkan, nenek makan ditemani dengan seekor ayam, bukan ayam goreng,
atau gulai. tapi ayamnya masih hidup. Si Ayam dengan santainya mematuki butiran
nasi yang jatuh ke lantai. Ternyata, mereka juga serumah dengan hewan ternaknya.
Bahkan tetangga Datuk anjingnya pun ikut masuk ke rumah. (Bersambung dulu ya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar