Kamis, 03 November 2011

sebuah renungan


HATTA….TUMPUKAN BATU SETINGGI GUNUNG

Oleh : Ayat Al akrash

Hudzaifah.org - Sebuah alkisah di negeri antah berantah. Seorang Al Akh bercerita kepada akh yang lainnya. “Wah, ane seh sudah baca Buku Risalah Pergerakan, Jundullah, Untukmu Kader Da’wah, Membina Angkatan Mujahid, Riyadusholihin jilid 1 dan 2, Ensiklopedi Muslim, Memoar Hasan Al Banna, Perangkat-Perangkat Tarbiyah, Pilar-Pilar Kebangkitan Umat, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Fiqh Da’wah jilid 1 dan 2, Tsawabit trus… ya terus.. dll, terus…. Ane udah khatam lagi bacanya, Akh….” jelasnya panjang lebar. Lalu ketika berdiskusi tentang buku-buku, ia menambahkan, “Ooh yang warnanya coklat, dan tebalnya segini khan, sampai halamannya pun ane hafal lho!” STOOPPPP!!! Seru malaikat dari langit yang ketujuh, sembari bertanya, “Lalu, setelah baca buku-buku itu, akhlak antum berubah, tidak? Semakin meningkat tidak, ketaqwaan antum kepada Allah?”

Di lain tempat. “Oh.. iyah seh, ane tiap hari baca Qur’an 2 juz per hari. Tuh, berarti satu bulan, dua kali khatam..” Lalu ia menambahkan, “Hafalan ane, yaaa.. sudah 5 juz dech!”. Malaikat dari langit yang keenam geleng-geleng kepala dan bergumam, “Tapi kok ane lihat, akhlak antum tidak berubah ya, justru minus.”

Kisah di atas, hanyalah ilustrasi, dan mencerminkan bahwa di dalam tarbiyah, memang ada penjenjangan, pun dalam buku bacaan.
Dan hal itu terkait dengan pemahaman dan materi yang disampaikan. Buku tentang keimanan adalah yang pertama disampaikan untuk kemudian bertahap ke pergerakan, membentuk pribadi muslim menjadi agent of change. Namun seluruh istilah-istilah yang rumit dan njelimet, dapat disederhanakan dalam satu hadits, "Puncak persoalan adalah Islam. Barangsiapa pasrah diri (masuk Islam) maka dia selamat. Tiangnya Islam adalah shalat dan atapnya adalah jihad. Yang dapat mencapainya hanya orang yang paling utama di antara mereka."(HR. Athabrani)

Entah fenomena apa yang menjangkiti, saat kita menjadi bangga diri (ujub), bila buku bacaan kita tergolong “kelas berat.” Karena bukankah kelas berat atau tidak, sesungguhnya hanyalah istilah dari manusia? Toh, Al Qur’an adalah sumber dari segala sumber penulisan buku-buku tersebut. Sehingga hakekatnya, semua manusia telah mendapat tarbiyah langsung dari Allah, secara utuh, tidak parsial.

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Jumu’ah: 5). Dari ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’la mengibaratkan kaum yang diamanahi Taurat, tetapi tidak mengamalkannya, adalah sama seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sifat keledai adalah bodoh dan malas. Memikul kitab-kitab, yang setiap hari hanya dibawa ke sana kemari, tanpa ada perubahan signifikan pada amal dan ketaqwaan. Dan jangan lupa bahwa kisah-kisah dalam Al Qur’an itu menjadi pelajaran bagi umat saat ini, bahkan bukan tidak mungkin kita dapat menjadi sang keledai itu. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja.

Menuntut ilmu agama, bukanlah untuk dibangga-banggakan ataupun sebagai cerminan level. Mungkin di hadapan manusia, kita digolongkan menjadi berjenjang-jenjang, tetapi dihadapan Allah, tentu di hari akhir saja kita mendapatkan jawaban kedudukan yang hakiki. Contohnya, siapakah gerangan yang mengetahui keikhlasan seseorang, walaupun materi ikhlas sering disampaikan. Bukanlah ilmu itu dilihat dari banyaknya buku yang dibaca, tetapi ilmu yang dapat meningkatkan ketaqwaan, mendekatkan diri kepada Allah, itulah ilmu yang sebenarnya.

Ilmu bukan untuk unjuk gigi di hadapan teman-teman, bahwa saya sudah membaca buku ini dan itu. Bukan pula dipakai sebagai alat untuk berbantah-bantahan. Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka... neraka" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Setiap kita, pasti mempunyai senjata. Baik itu kepandaian berargumen, ahli diplomasi, ketajaman berbicara, ilmu berdalil, dan lain-lain.
Gunakanlah senjata itu untuk menegakkan kalimah-Nya. Dan simpan senjata itu jika hanya untuk menunjukkan kepintaran diri.

Meminjam bait kata-kata dari KH. Rahmat Abdullah, “Merendahlah, engkau kan seperti bintang- gemintang, berkilau di pandang orang. Di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi. Janganlah seperti asap, yang mengangkat tinggi diri di langit, padahal dirinya rendah-hina.”[]



---- Ya, Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat ----