Sabtu, 14 Maret 2015

Bahasa Indonesia, Aku Padamu

Habis ngunjungin blog sebelah, isinya cerita tentang kegalauan memilih jurusan waktu mau kuliah. Tetiba, aku jadi ingat masa-masa itu juga.

Galau pilih jurusan? Sama, dulu kakak (jadi merasa udah tua deh) juga begitu loh adek-adek. Berawal dari Aliyah, aku jadi suka sekali dengan bahasa Inggris, selain gurunya asyik, anggapanku dulu keren aja gitu lo bisa cas cis cus pake bahasa Internasional dan ntar biar gampang kalau mau keluar negri. Tiga tahun berjalan, diakhir kelulusan dapat tawaran beasiswa dari Kemenag untuk lanjut di UGM. Ah, senangnya bukan kepalang, meski awalnya aku ngincernya ke UI. Tapi, UGM juga oke punya kan. Aku sudah membayangkan, kalau S1 di Pulau Jawa, S2 mungkin bisa di luar negara. Sayangnya, kesenanganku itu tidak dibarengi dengan usaha yang luar biasa. Yang berhasil lulus di UGM adalah si Chandra sepupuku, bukan si Chandri, meski kita tes lewat jalur yang berbeda. Akhirnya mimpi jadi mahasiswa yang bisa kuliah gratisan di FIB UGM Sastra Inggris hanya terwujud dalam angan saja. Hiks, sedihnya diriku kala itu. Tapi, hidup harus terus dilanjutkan sodara-sodara. Gagal kuliah di Pulau Jawa, Pulau Sumatera jadi alternatif satu-satunya, nggak pake keluar kota pula, hehe.

Pilihan terakhir, aku pun mendaftar di Universitas Negeri satu-satunya di kotaku. Nah, disinilah kegalauanku mulai muncul. Inginnya aku ambil bahasa Inggris lagi, tapi bukan menjadi guru. Masalahnya di Universitas Jambi belum ada FIB adanya FKIP. Padahal aku nggak ada niat jadi guru sebelumnya. Setelah beberapa minggu terdilema, ujung-ujungnya pilihan pertamaku kujatuhkan pada bahasa Inggris dan pilihan kedua pada bahasa Indonesia. Kali ini aku belajar sungguh-sungguh untuk menghadapi SPMB, kalau sekarang namanya SNMPTN ya? Atau sudah berubah lagi? Suka gonta-ganti nama sih. Alhamdulillah, usahaku tak sia-sia, aku lulus SPMB, tapi bukan pilihan pertama melainkan pilihan kedua. Hiks sedihnya aku tak bisa digambarkan dengan kata-kata (alay ya).

Awal-awal kuliah, aku jauh dari kata semangat. Intinya, aku terpaksa kuliah di jurusan bahasa Indonesia, jadi guru pula.
Kalau ditanya “Kuliah jurusan apa?”
“Bahasa Indonesia.”
” Loh, kan kita sudah bisa bahasa Indonesia, kenapa harus kuliah bahasa Indonesia lagi?”
Kalau boleh bilang waktu itu, sakitnya tuh disini. Ternyata pandangan beberapa orang tentang kuliah bahasa Indonesia menyedihkan sekali. Sampai suatu ketika teman sekelasku berkata “Bahasa Indonesia itu akan selalu ada, karena dia bahasa negara kita.” Mulai dari sana, aku menyadari pentingnya bahasa Indonesia. Coba bayangkan saja kalau tidak ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mau pakai bahasa daerahnya siapa coba? Secara Indonesia yang kaya ini punya beribu bahasa. Menetapkan bahasa negara itu bukan perkara mudah. Banyak contoh negara yang harus berjuang dengan cerita yang panjang, penuh konflik hanya untuk menetapkan bahasa nasional negara. Sebut saja Filipina, India, Belgia bahkan Amerika baru menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara di tahun 2006. Dan kita, sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928, alhamdulillah tidak ada yang protes. Suku jawa, bugis, batak, semua menerima dengan lapang dada. Tidak ada kecemburuan sosial. Maka, sudah sepatutnya kita berterimakasih pada para pemuda yang mendeklarasikan sumpah pemuda waktu itu. Sudah selayaknya kita berterimakasih pada bahasa Indonesia yang menjadi pemersatu bangsa kita. Dan, tidak ada salahnya juga kalian berterimaksih kepada kita anak-anak yang memilih jurusan bahasa Indonesia, hehe :) . Dari perenungan panjang aku mulai mengubah cara pandangku terhadap bahasa Indonesia. Lagipula, kuliah jurusan bahasa Indonesia bukan berarti nggak bisa belajar bahasa Inggris kan. Pikiranku dulu dangkal sekali.

Aku mulai semangat kuliah, ditambah lagi ada kelas kekhususan sesuai minat masing-masing. Ada kelas teater, sastra dan jurnalistik. Pilihanku jatuh pada jurnalistik. Kenapa? karena niatnya ambil sastra inggris itu untuk jadi wartawan, biar bisa keliling dunia gratisan, hehe. Semester tujuh, kita pun dimagangkan di media cetak dan elektronik. Waktu itu aku dan kelompokku dimagangkan di TVRI Jambi. Dua bulan magang, aku mulai pikir ulang untuk menjadi wartawan. Kerja dibawah tekanan, jam sekian draf berita harus naik dan besok harus sudah punya topik. Belum lagi godaannya, kalau nggak kuat iman bahaya sodara-sodara. Tawaran dari pimred untuk melanjutkan magang pun kami tolak, kecuali temanku Abdul Manan seorang yang sekarang sudah jadi wartawan tetap di sana.
Alih-alih jadi wartawan, menjadi guru ternyata lebih menyenangkan. Bisa mencerdaskan anak bangsa dengan bahasa Indonesia. Secara bahasa Indonesia kan bahasa nasional, bahasa pengantar, bahasa yang dipakai buat siswa belajar dan guru mengajar. Dan siapakah yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka semua? Kita loh, guru bahasa Indonesia. Nggak sombong sih, tapi memang iya kan :). Mau jadi dokter kek, akuntan kek, pegawai kek, guru mtk, guru fisika, bahkan guru bahasa Inggris pun semuanya mesti belajar bahasa Indonesia dulu.

Lebih kurang satu tahun setengah mengajar, aku mulai berpikir untuk mencoba profesi yang lain. Bagaimana kalau aku mencoba untuk menjadi gurunya untuk calon guru yang kelak mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Alias dosen. Keinginanku bersambut dengan dibukanya penawaran Beasiswa BPPDN. Kalau S1 tak bisa ke Pulau Jawa dan dapat beasiswa, semoga S2 ini bisa mendalami ilmu di sana plus beasiswanya. Dan Alhamdulillah Allah yang Maha Baik mengabulkan pintaku. Lanjut S2 dengan beasiswa di Pulau Jawa, di kota pelajar. Kota yang dulu kuimpikan untuk menimba ilmu semasa S1. Walaupun bukan di UGM, tapi di kampus tetangganya alias UNY, aku sudah sangat bersyukur sekali.

Tiada henti syukurku padamu ya Allah. Nikmat-Mu yang mana lagikah yang bisa aku dustakan. S1 nggak bisa keluar pulau, alhamdulillah S2 kesampaian. S2 belum bisa keluar negeri, mungkin Allah izinkannya nanti ketika aku ingin S3 atau setelah aku menyandang gelar S3 (baca istri) untuk mendampingi suami ;)

Oya, terimakasih bahasa Indonesia, kalau dulu aku menjadikanmu yang kedua, itu karena aku tak mengenalmu. Sekarang, kau satu-satunya dan yang utama. Terimakasih bahasa Indonesia, aku padamu.

Chan F San Yogyakarta 14 Maret 2015

Jumat, 06 Maret 2015

Masih Tentang Nama

Ini masih tentang nama, tapi bukan tentang namaku lagi ya. Ini tentang nama adik kandung perempuanku satu-satunya. Cukup satu aja ya, satu aja sudah buat aku pusing kepala. Sebenarnya, selain namaku yang cantik dan rada unik ini (narsis mode on) nama adikku juga punya cerita yang nggak kalah nyentrik lo. Jadi, dalam keluargaku itu, cuma nama kami berdua yang berbeda dengan nama saudara-saudara yang lain. Cuma nama kami berdua yang paling panjang dan bernuansa kekinian, hehe apa sih. Yang penting itu kan nama harus bermuatan doa' dan bernuansa keislaman. Tapi, ya sudahlah. Nama sudah dicetak diatas akte lahir, data sudah tercatat di catatan sipil. 

Perkenalkan, nama adikku Imelda Dwi Yanti. Mungkin kalian banyak yang mengira kalau adikku itu mesti anak kedua. Sayangnya perkiraan itu salah besar sodara-sodara. Adikku anak kedelapan dari delapan bersaudara. Iya, kita itu the big family loh. Aku sempat menyandang status anak bungsu selama lima tahun setengah. Punya empat kakak dua abang dan satu adik. Enaknya punya kakak sering dibeliin barang, dan sering dikasi barang-barangnya yang kita senangi, biasanya ya dikasi. Jarang sekali nggak dituruti. Naluri kakak ke adik tu begitu ya, aku sama adikku juga gitu. Tas, baju, jilbab, sandal, sepatu. Itu barang yang biasanya jadi sasaran permintaan. Enaknya punya Abang bisa dimintain uang :)

Jadi di rumah itu  sudah ada yang ngerjain bagian masing-masing apalagi urusan dapur. Aku dan adikku paling jarang berada di dapur. Bukannya nggak mau bantuin. Tapi, akunya memang jarang dirumah sejak sekolah dasar. Lanjut aliyah, masuk sekolah yang asrama. Mau makan tinggal bawa rantang dan ngantri deh di dapur umum. Tiga tahun jadi pengonsumsi masakan katering. Kuliah, tinggal sama bibi, sama kakak sepupu. Urusan dapur aku paling jarang ikut campur, bantu-bantunya ya jagain ponakan. Kalau pulang liburan atau lebaran ke rumah, sudah ada kakak yang bantuin, dan biasanya aku dipercayakan untuk urusan menata dan membersihkan rumah. Dan sekarang jadi anak kos, beralih selera menjadi pengonsumsi masakan warung burjo yang ala sunda, masakan padang ala sumatra dan masakan manis yang asli Jawa. Bukannya nggak mau belajar, tapi kalau ada yang cepat siap dan harga bersahabat, mengapa tidak? (alibi) Lagian kasian anak kos kalau jadi kelinci percobaan eksperimenku. Prakteknya, ntar deh nunggu ada yang dengan senang hati bersedia jadi kelinci percobaan, eh.

Akibatnya, aku jadi nggak ahli kalau berurusan dengan masakan dan bumbunya. Kalau masakan standar bisa lah ya, tapi ya nggak dengan kualitas sekaliber yang expert judgment. Makanya, adikku yang lebih manja dariku itu tak masukin Sekolah Tata Boga biar punya keahlian, supaya rajin ke dapur, dan ntar kan aku bisa belajar. Oh ya, enaknya punya adik itu bisa disuruh-suruh, loh. Bahasa halusnya bisa dimintai tolong, dek ambilkan itu, dek belikan ini dong, dek antarin kesana ya. Alhamdulillah ya, punya empat kakak, dua abang dan satu adik.

Nah, kembali ke soal nama si adik. Adikku lahir beberapa bulan setelah keponakan pertamaku lahir. Abang iparku pun berencana untuk membuat kartu keluarga dan akte lahir untuk anaknya ke Kuala Tungkal sana (Provinsi Jambi). Waktu itu kabupaten Tanjab Timur dan Barat masih bersatu dalam wilayah Tanjung Jabung. Pergilah si abang ke sana dengan membawa kartu keluarganya dia dan punya kakakku. Setelah melapor kekantor yang bersangkutan, ternyata kartu keluarga kami yang ada aku dan kakakku juga harus diperbaharui. Karena kakak pertamaku sudah tidak terdaftar lagi di sana, dan ditambah lagi nama adikku juga belum terdata. Celakanya, abang iparku tidak ingat nama lengkapnya adikku waktu itu. Dia cuma tahu panggilanya iyan saja. Jangan bayangkan ada handphone, wa, dan bm ya, apalagi facebook twitter dan sodara sosmed lainnya Telpon umum aja belum masuk. Setelah berpikir sesaat, maka tercetuslah nama Imelda Dwi Yanti untuk adikku. Pikirnya waktu itu, yang penting ada yantinya deh. Masalah Abangku paham kata dwi yang berarti dua dalam bahasa sansekerta, aku kurang tahu pasti. Dan mau tahu siapa nama asli adikku itu? Nama aslinya adalah MARDIYANTI :)

Dulu, kalau ada temannya yang ke rumah terus nanyain "Imelnya ada nggak Buk, Kak?" Kita suka loading dulu, emang ada yang namanya Imel ya di rumah ini. Sama sih kayak nasibku. Panggilan dirumah Santi, pas teman datang ke rumah nanyanya Chandri. Hehe, satu sama ya dek.

Solo 7 Maret 2015