Senin, 19 Mei 2014

Menyapa penunggu malam



Yogyakarta 13 05 14

Dinginya malam ini menyusuri tiap ruas jalan. Membuat insan malas untuk keluar, kalaupun ingin meski hanya untuk urusan mencari makan. Begitu pula kami, meski bukan untuk makan tapi lebih pada kewajiban ataupun soal kepercayaan. 

Jalan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, jalan yang lengang antara peternakan UGM dan teknik UNY. Pembatas antara dua universitas itu, kedatangan tamu malam ini.Di trotoar sempit, Duduk bersandar pada besi yang dingin, memandang langit. seorang lelaki dengan wajah separuh abad. 

Tatapnya beralih pada kami. Sorot matanya menjawab pasti. Aku menunggu malam demi butir keringat yang menjelma dalam anyaman bambu. Tak perlulah aku berharap nasi padamu nak, karena aku mencari, bukan berharap akan diberi. 

Sungguh, tak ingin kami menyakiti, tapi sungguh Tuhan Maha Mengasihi. Terimalah ini meski hanya sekotak nasi. untuk temanmu bertamu, menunggu malam disini hingga fajar menghantar matahari.

Tapi, anyaman bambu itu pun tlah memanggil nurani. Marilah sini, titipkan pada kami. lewat ribuan rupiah mungkin lebih berarti.

Senyumnya cerah sebab Tuhan tak pernah salah. Matanya berbinar, sebab Tuhan tak pernah ingkar pada hambanya yang berikhtiar.