Senin, 01 Desember 2014

Aku Tertipu

04 November, Selasa pagi menjelang siang, pukul 10 kurang beberapa menit lagi. Ya Tuhan, masa aku telat lagi. Setelah hari minggu kemaren juga telat karena ada rapat KMP UNY  (Keluarga Mahasiswa Pascasarjana, bukan Koalisi Merah Putih y) di pasar sunmore (sunday morning di lembah UGM). Ada ya rapat di pasar? :) nah kali ini aku nggak punya alasan logis  yang bisa disampaikan ke mbk Husna guru tahsinku. Aku mengeluarkan sepeda dengan tergesa, semoga masih bisa terkejar deh. Salahku juga yang sarapannya kelamaan, pake acara muter-muter dulu sama nisa, dan akhirnya soto banjar dan nasi kuning jadi pengisi energi kita pagi ini. 
Sambil mengingat-ingat surat yang akan disetor, aku mengayuh sepeda secepat yang kubisa. Klebengan ke pandean biasanya ditempuh 10 menit, semoga kali ini bisa lebih cepat. Tapi, harapanku sungguh meleset. Setelah belokan ke arah deresan  nurul ashri, tiba-tiba dari arah utara  seorang ibu melambaikan tangannya. Aku yang lagi ngebut sontak mengerem mendadak, mungkin mau tanya arah kali, batinku. 
"Ada yang bisa dibantu bu?" Tanyaku, tanpa turun dari sepeda.
"Kalau mau naik bus ke terminal giwangan atau jombor kemana y mbk?" Tanya si ibu dengan campuran bahasa jawa. Nah, benar kan cuma mau tanya arah aja, selesai dijawab aku bisa tancap lagi, rasa-rasanya sudah jam 10 teng ini.
"Oh, ibu jalan aja terus ke selatan, ketemu perempatan FT UNY, belok kiri sampai ketemu jalan gejayan, ambil arah kiri lagi nanti ada halte trans jogja bu" Jelasku cepat, aku sudah siap-siap mau cabut, tapi si ibu memotong lagi.
"Ehm, begini mbk, saya itu mau pulang ke muntilan. Tadi itu naik bus, tapi pas di jalan raya sana mobilnya mogok." Tangannya menunjuk ke arah utara, sambil menghela napas si Ibu melanjutkan penjelasannya.
"Terus ya saya jalan kaki, lha pas dirasa-rasane dompet saya hilang, nggak tahu jatuh dimana"
Ya ampuun, kasihan sekali ni ibu, rasa simpatiku langsung muncul, berarti intinya ibu ini butuh ongkos buat perjalanan pulangnya. Aku membuka dompet sambil berpikir kira-kira  berapa ongkos yang dibutuhkan si ibu. Naik trans jogja sampai terminal 3000, dari terminal ke rumah ibunya mungkin butuh ongkos lagi, dan untuk yang lain-lainnya. Yo weslah, 20.000 sepertinya cukup. 
"Oh, jadi dompetnya ibu hilang y." Aku mengeluarkan lembaran dua puluh ribuan dan menyerahkannya kepada si ibu sambil memperhatikannya dengan seksama lagi. Ibu ini mengenakan celana jeans, blus kotak-kotak dengan potongan rambut pendek. Tangan kirinya menyandang tas dan tangan sebelah kanannya memegang payung. Beberapa hari ini panasnya memang menyengat, termasuk sekarang. matahari sudah bersinar terik sejak pagi tadi. Beruntunglah si ibu membawa payung. Eh, tunggu dulu. Payung. Biasanya aku bawa payung kalau musim hujan, dan kalau mau pergi jauh juga nggak pernah bawa payung. Bukannya tadi ibunya mau pulang kerumah y, si ibunya darimana tadi aku belum nanya. Kalau ibunya dari rumah, masa iya jam 10 sudah mau pulang ke rumah lagi. Tadi bilang rumahnya di muntilan, itu daerah mana y, terus mau ke terminal jombor atau giwangan. Dari tiga tempat itu aku cuma tahu terminal jombor. Ehm, sepertinya ada yang mencurigakan. Tapi uang sudah aku sodorkan.
Si ibu menerima uang dengan sumringah.
"Mbaknya aslinya mana?"
"Jambi bu". Aku sudah malas menjawab ditambah lagi ini pasti sudah jam 10 lewat.
"Maksud saya, kosnya dimana, atau bisa minta nomor hpnya nanti keluarga saya ngubungin mbknya buat ganti uangnya." 
Menarik sekali ini modusnya, coba sekarang aku tanya lagi deh.
"Nggak usah diganti bu, nggak papa, oya itu cukup kan bu?" 
"Habisnya itu 38.000 ribu e  mbk" 
Woow, tambah 2000 lagi jadi dua kali lipat yang aku kasi dong bu.
"Aduh, maaf ibu uang saya adanya segitu". Dalam hati aku meluruskan ucapanku, maksudnya buat ngasi ibu ya bisanya segitu aja. 
"Udah ya bu, saya pergi dulu. Semoga Ibu cepat sampai di rumah."
"Oh ya, matur nuwun nggih mbk"
"Ya bu, sama-sama."
Aku kembali mengayuh sepeda, tapi kali ini dengan perlahan. Percuma, ini sudah jam 10 lewat pake banyak. Setidaknya aku punya alasan yang bisa diceritakan sama mbk husna, walaupun duapuluh ribuku melayang :(

Dan ternyata, dari keterangannya mbk husna, di deresan itu sudah biasa modus yang seperti itu. Mbk husna sendiri pernah  menjadi korbannya. Bahkan hampir kena dua kali, kenapa hampir, karena yang kedua juga bertemu dengan ibu yang sama. Nah, jadi ketahuan deh.  Dan, biasanya yang diincer adalah kita-kita yang jilbaber ini. Jadi, waspadalah, waspadalah.

Senin, 13 Oktober 2014

Setahun di Jogja (Mengingat Kembali)

Alhamdulillah tahun ini masih diizinkan untuk bertemu dengan tamu agung syahruramadhan. Tak terasa ini tahun kedua aku berpuasa di jogja. Rasanya baru kemaren aku sibuk mengurus pendaftaran s2 yang sudah di batas akhir gelombang ketiga, sibuk mengejar pihak birokrat unja demi selembar surat rekomendasi beasiswa yang ternyata, eh tidak dibutuhkan :( , menyelesaikan amanah pekerjaan secepat yang kubisa dan tak lupa merayu abangku agar bersedia jadi donatur utama transportasi perjalanan ke kota ini. Syukurnya abang mau meloloskan beberapa lembar ratusan dari tabungan pernikahannya, muucih abangku yang baek hati :) . Meskipun hanya cukup untuk membeli tiket pesawat pergi, ini cukup menghemat waktu perjalananku, sebab sekolah hanya memberikan jatah izin kerja 3 hari saja. Masalah pulangnya percayakan pada bus Ramayana. Hitung-hitung pengalaman baru naik bis terjauh sendirian, terkadang terpaksa dan nggak punya itu beda tipis ya.

Sebenarnya, banyak yang harus dikorbankan demi s2 ini. Pertama, adIkku yang duduk di kelas 3 SMK harus bersedia menunda kuliahnya tahun depan. Walaupun judulnya beasiswa, tetap saja mahasiswa harus bayar di awal terlebih dahulu. Ya, pihak UNY yang menjadi tujuanku tidak bersedia menangguhkan biaya mahasiswa pendaftar BPPDN. Nah, nggak kebayangkan kalau aku dan adik masuk kuliah ditahun yang sama, sementara kami bukanlah dari keluarga yang punya banyak harta. Syukurnya lagi, adikku mau mengalah… muucih adikku yang cantik…Kedua, aku harus bersiap kehilangan pekerjaan yang sudah kujalani setahun ini. Kalaupun seandainya aku tidak lulus dan ingin kembali mengajar, maka harus memulai lagi dari awal. Yah begitulah ketetapan dari Sekolah IT, dan aku menghargai itu. Memikirkan kemungkinan terburuk tidak lulus itu, membuat dudukku tak nyaman. Dan yang ketiga kasihan abangku yang sudah rela menyumbangkan tabungannya hingga aku bisa duduk dalam burung besi ini.
“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara internasional Jogjakarta Adi Sucipto, tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Jogjakarta. Kami persilahkan kepada anda untuk kembali ke tempat duduk anda masing-masing, menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka di hadapan anda, dan…”
Suara mbak pramugari yang merdu memutus lamunanku. Aku menatap ke luar jendela, di bawah sana jogja sudah menjelma dalam titik-titik kecil. Pesawat semakin merendah dan sekilas aku menangkap tulisan UNY dari atap sebuah bangunan. Nah, sepertinya itu adalah calon kampus keduaku kelak. Aku kembali menggumamkan doa dalam hati. Allah, jika memang ada rizkiku untuk menuntut ilmu lagi, izinkanlah aku mencari ilmu itu di kota ini, maka luluskanlah aku S2 di UNY beserta beasiswanya. Sungguh Engkau maha pengasih, maha mengetahui apa yang terbaik untuk hambamu ini. Aku mengaminkan doa sembari menutup jendela. Jujur, doa ini adalah doa favoritku beberapa bulan belakangan ini, bahkan mengalahkan posisi doa jodoh dari urutan kedua menjadi ketiga :) . Posisi pertama tetap doa mohon ampun dan orang tua tentunya.

Turun dari lion air, aku bergegas menghidupkan hp, mengirim pesan pada Nisa yang akan menjemputku. 
” Dek, kk sdh smpai ni, kk pkai gmis kotak2 htam jlbab mrah, kk tgu y” tak lupa emoticon senyum :) ku selipkan juga.
Sms terkirim, Kini tinggal menunggu jawaban dan jemputan. Berdasarkan rekomendasi si Wirna teman seamanah di FPRJ (Forum Pemuda Remaja Jambi) aku ditawarkan untuk menginap di kosannya dulu waktu dia kuliah di UGM. Nah, si Nisa ini adalah adIk kosnya yang didaulat untuk menjemputku. Lima belas menit berlalu, hpku tidak menunjukkan tanda adanya pesan masuk. Aku mulai jenuh, ditambah lagi mas-mas taksi yang tak habis-habisnya menawari jasanya. Baiklah aku telpon saja, tuut tuut tanda panggilan masuk terdengar, dan diakhiri bunyi tuut panjang. Ah, mungkin Nisa lagi di jalan, aku berhusnuzhon untuk menenangkan hati. Dan benar saja, hpku bergetar, satu pesan diterima.

"kk dimna, ak sdh d bndra pntu msuk, ak pkai bju ijo jlbab itm"
“kk d pntu kdtngan ats yg dkt transjogja” plus emoticon senyum lagi :)
Beberapa menit kemudian, akhirnya Nisa muncul juga. Aku tersenyum lega.
“Afwan k, lama y?”
“Enggak kok dek, nggak papa.” Kali ini dengan senyuman asli :)

Kami segera meluncur, membelah jalan raya yang ramai. Kota pelajar ini tiap tahun selalu kedatangan mahasiswa-mahasiswa baru, tapi tidak setiap tahun mahasiswa-mahasiswa lama bisa meninggalkan jogja. Mungkin ini salah satu penyebab lalu lintas jogja semakin macet.
Lebih kurang 20 menit, Nisa mengarahkan motornya ke sebuah gapura yang diatasnya tertulis Selamat Datang di Kampung Klebengan. Eh, jauh-jauh dari jambi, ternyata tinggalnya di kampung juga, batinku. Sebenarnya Klebengan sudah tak terlalu asing di telingaku, karena si chandra sepupuku yang S1 di UGM dulu kosnya juga disini. Cuma yang baru kutahu itu,ternyata ada embel-embel kampungnya :) . Tapi ini kampung yang berbeda, setahun ini, tak menyesal aku mengiyakan rekomendasinya Wirna.
bersambung…

Ramadhan 1435 H

#Late post 


Sabtu, 04 Oktober 2014

Aku Yang Jarang Pulang

Aku yang jarang pulang ialah anak Emak dan Ayah yang keseringannya tidak pernah lama menetap di rumah. Dari sejak sekolah dasar  hingga saat ini aku tak pernah benar-benar ada dalam waktu yang panjang untuk berdiam di rumah. 

Masa SD adalah fase awal aku harus berpisah dari rumah. Meski tidak berpisah seutuhnya dari Emak dan Ayah, tetap saja akhir pekan itu terlalu sedikit bagiku untuk menghabiskan waktu di rumah. Pulang seminggu sekali hanya untuk menginap semalam saja di samping Emak dan tatapan mata Ayah . Ayah..., dulu aku sering berpikir kenapa rumah kita terlalu jauh dari yang namanya sekolah. Kenapa Ayah membangun rumah di tempat yang tidak banyak orang ingin membangun rumah? Sehingga aku tak perlu susah menumpang tinggal pada rumah yang lain. Lewat pekerjaan Ayah, akhirnya aku mengerti bahwa ini adalah tempatnya mencari nafkah. Aku belajar memahami, aku berusaha menerima dan berusaha membuang rasa iri pada teman-teman sekolah. Mereka yang setiap paginya dibantu ibunya menyiapkan pakaian sekolah, yang sarapannya selalu ditemani, yang bisa mencium tangan Ibu dan Ayahnya tiap pergi sekolah, dan memakan masakan ibunya ketika pulang ke rumah. 

9 tahun terlewati, aku harus lanjut sekolah lagi. Jadilah santriwati pinta Emak waktu itu . Meski separuh tak yakin aku tak ingin mengingkari. Sudahlah jarang berbakti, mana mungkin aku menolak keinginan hatimu Mak. Tapi, itu membuat aku semakin jauh dari rumah, semakin jauh dari Emak dan Ayah. Tiga tahun di asrama, Emak dan Ayah hanya sekali melihatku. Tapi aku tidak marah, toh aku tetap bisa pulang ketika liburan tiba. Meski sebenarnya aku merasa iri dengan mereka yang setidaknya satu dua bulan sekali dijenguk oleh orangtuanya. Bercerita tentang kehidupan asrama yang terkadang senang dan susah, menghabiskan hari minggu dengan belanja bersama, dan apapun itu yang mereka lakukan, sukses mengingatkanku pada Emak dan Ayah. Tapi, setidaknya aku punya banyak teman di asrama. Kami yang sama-sama datang dari desa, yang jauh dari Ayah dan Bunda, yang masih bisa tersenyum walau kiriman belum tiba. 

Tiga tahun begitu cepat, aku lulus dari kehidupan asrama. Meski aku sendiri merasa tak puas dengan sedikitnya ilmu yang didapat, dan aku yakin Emak juga kecewa karena aku belum pantas untuk dipanggil ustazah. Sebutan yang acapkali digunakan untuk mereka yang keluar dari sekolah pondok dan dianggap paham seutuhnya tentang agama. Maafkanlah aku Mak, karena memang hanya sedikit ilmu yang diajarkan dari ustaz dan ustazah. Bukankah dulu aku sudah pernah meminta untuk pindah ke tanah Jawa, ketika aku merasa tak puas  di sana. Tapi, Emak bilang terlalu jauh, terlalu susah untuk ditempuh. Aku tidak menyalahkan Emak dan Ayah, aku tangkap seberapa ilmu yang ada, meski aku tak merasa puas.

Aku masuk dunia kuliah. Dunia yang darinya aku mengenal sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang membuat perubahan besar dalam diri dan hidupku. Sesuatu yang membuat aku makin patuh pada Emak dan Ayah. Sesuatu itu bernama ukhuwah islamiyah. Meski karena itu aku semakin jarang pulang ke rumah. Maafkanlah, libur kuliah aku masih sibuk bersama teman-teman seakidah. Karena aku tahu Emak dan Ayah tak akan marah. Sekali waktu aku menginap di rumah mereka, Terkadang aku sedikit  iri dengan mereka yang punya kamar sendiri di rumahnya. Karena aku memang tak punya kamar tetap di rumah. Tapi tak mengapa, sebab aku tak pernah benar-benar menetap di rumah, sebab aku bisa tidur dimana saja selama itu masih di rumah.

Dan hari ini aku semakin jauh dari rumah, dan tentu saja semakin jarang pulang ke rumah. Rumah, adalah tempat aku melepas lelah. Tempat mengenang masa indah bersama Emak dan Ayah dan tempat berbagi kisah atas anugerah dari Allah .

Aku yang jarang pulang ke rumah. Ialah aku yang berusaha menyenangkan hati Emak dan Ayah. Aku paham, berdekatan itu tak selamanya menimbulkan kasih sayang. Dan berjauhan itu tak selamanya menjadi penghalang. Justru jarak yang ada dan waktu yang tercipta  bisa menjadi bumbu atas rasa bernama rindu bukan?

Love u Emak dan Ayah, dari anakmu yang jarang pulang :)

Yogyakarta 4 Okt 14
Happy Ied Adha 1435 H 

Sabtu, 27 September 2014

Seni Meminta



Beberapa hari kemarin, aku kembali mengantri di atm langgananku,yakni atm bni belakang fak kedokteran hewan ugm. Sambil mengantri, seorang laki-laki tersenyum menghampiri sambil memberikan sebuah amplop. Nah lo, baru aja mau ambil uang, udah dikasi amplop duluan  ;) . Tapi jangan dikira itu amplop ada isinya y, yang ada cuma tulisan di luar amplop,kira-kira begini bunyinya "Mohon bantuannya untuk anak yatim dan dhuafa, sumbangan anda sangat berarti untuk mereka" ditambah dengan foto anak kecil yang gembira mendapatkan hadiah dan nama sebuah yayasan lengkap dengan alamat, no telp dan no rekening. Keluar dari atm, aku memasukan pecahan dua ribuan ke amplop dan mengembalikannya pada si bapak petugas yang gayanya cukup perlente. Memakai pakaian safari hitam dan sepatu pantofel hitam pula. Sebenarnya aku sendiri kurang yakin, itu yayasan benar-benar ada apa nggak sih, tapi ya kalau ternyata benar aku bisa kualat kan. Jalan amannya memberi lebih baik daripada menerima. Urusan itu yayasan ada apa nggak biar mereka aja yang mempertanggungjawabkannya kelak.

Membicarakan soal minta-meminta ini, berdasarkan observasi di lapangan (pengaruh tesis :p pake di observasi segala) ada banyak cara yang dilakukan. Yang pertama seperti yang diceritakan di atas, umumnya kalau yang beginian adanya dikota-kota besar. Yang kedua mirip dengan yang pertama, hanya beda sasaran saja. Kalau yang pertama sasarannya atm, yang kedua ini langsung door to door. Yang ketiga layaknya peminta-minta kebanyakan, cukup menyediakan kaleng atau kresek. Mereka ini sering kita temui di perempatan lampu merah dan pasar,atau terkadang juga tak segan melakukan door to door bahkan campus to campus. Yang menyedihkan itu, kalau yang mengemis adalah anak-anak yang selayaknya masih sekolah. Atau ibu-ibu yang membawa anak bayi dalam gendongannya. Yang keempat dengan menggunakan amplop juga, tapi atas nama individu. Biasanya yang begini kita temukan di bis-bis antar kota atau provinsi. Dan yang kelima  hasil observasi terbaru yang  aku dapatkan dalam bus dari padang ke jambi sebulan lalu, yakni menggunakan selebaran. Cerita dikit y. Waktu itu bus baru akan berangkat lagi setelah berhenti sebentar di Solok untuk makan dan sholat magrib.
Tiba-tiba seorang remaja naik ke bus. Kira-kira umurnya seusia anak smp. Ia membagi-bagikan kertas kecil berupa selebaran ke semua penumpang. Ni anak mau promo apa ya? Pikirku. Aku memperhatikan selebarannya dan berusaha membaca dalam temaramnya lampu bus. "Assalamualaikum, bapak/ibu,kakak/adik mohon bantuan seikhlasnya untuk sekolah saya dan adik-adik, orangtua kami sudah tidak ada dan kami tinggal bersama nenek kami. Terimakasih. Ttd: yanto."
Tak lama kemudian terdengar suara dari tengah-tengah bus. Yang sialnya, aku bukannya trenyuh tapi mati-matian menahan ketawa. Apa pasal? Habis adeknya pakai bahasa padang dengan nada yang menghiba dan dibuat semendayu mungkin . Aku masih ingat sedikit liriknya.
"Amak, Apak, Kakak, Adiak mohon bantuan saadonyo untuk ambo jo adiak-adiak... dst. Maaflah y diak, ambo indak tahan manahan katawo ma. Selesai bicara, ia mengambil selebaran dan uang dari penumpang yang berkenan menyumbang, termasuk selebaran yang ada padaku. Aku menyerahkan selebaran dan sedikit recehan  masih dengan menahan senyum, sebenarnya pengen ngasih saran, mending pake amplop sekalian deh dek, biar g repot dan praktis.

Kembali ke masalah minta-meminta, Islam sendiri menganjurkan kita untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Banyak sekali surah Alqur'an yang membicarakan hal ini, salah satunya terdapat dalam surat Al-Ma'un. Lalu bagaimanakah kiranya minta-meminta ini dijadikan profesi? Bolehkah?

Sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”

Jelas bukan, islam sangat tidak menganjurkan untuk meminta belas kasih orang lain, kecuali dikarenakan tiga hal di atas. Lalu bagaimana kita menyikapi peminta-minta yang terkadang kita ragu dengannya. Jika kita memang ragu untuk memberi, katakanlah ucapan yang baik, atau berikanlah senyuman yang terbaik :) , jangan memaksakan memberi tapi kitanya pasang tampang cemberut y, apalagi diiringi kata-kata yang mungkin bisa menyakitkan hati penerima. Sungguh Allah sangat tidak suka dengan perbuatan yang beginian. Memberi tapi menyakiti (QS Albaqarah)

Rasul sendiri mengajarkan kita untuk bijak dalam memberi. Seperti hadis yang diceritakan oleh Anas  bin Malik berikut:

Suatu ketika ada seorang pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?”

Pengemis itu menjawab, “Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir.” Rasul lalu berkata, “Ambil dan serahkan ke saya!”

Pengemis itupun pulang mengambil satu-satunya cangkir miliknya dan kembali lagi pada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian menawarkan cangkir itu kepada para sahabat, “Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?” Seorang sahabat menyahut, “Saya beli dengan satu dirham.”

Rasulullah SAW menawarkannya kembali, “Adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih?” Lalu ada seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham.

Rasulullah SAW memberikan dua dirham itu kepada si pengemis lalu menyuruhnya menggunakan uang itu untuk membeli makanan untuk keluarganya dan sisa uangnya digunakan untuk membeli kapak. Rasullulah SAW berkata, “Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu.” Sambil melepas kepergiannya Rasulullah SAW pun memberinya uang untuk ongkos.

Dua minggu kemudian pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah SAW sambil membawa uang sepuluh dirham hasil dari penjualan kayu. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya untuk membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya seraya bersada, “Hal ini lebih baik bagi kamu, karena meminta-meminta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal, fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu, utang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat sesorang tidak bisa berusaha.“
(H.R. Abu Daud)

Sungguh suatu pelajaran berharga bisa kita tauladani dari Rasulullah SAW. Beliau tidak hanya memberikan sedekah pada fakir miskin, namun juga memberikan ‘kail’ kepada mereka agar kelak mereka bisa hidup mandiri. Subhanallah. Semoga kita semakin bijak dalam memberi.

Jogjakarta 27 9 14

Senin, 15 September 2014

Kisah Dibalik Nama Part II

Masih mau mendengar seputar cerita di balik namaku, ehm nggak juga nggak papa sih, mumpung lagi pingin nulis,sebaiknya nulis aja (ngusir stress tesis :p ).

Sebenarnya ada enak dan tidak enaknya punya nama seperti anak kembar yang sebenarnya nggak kembar. Tidak enaknya adalah. Pertama, aku suka dibanding-bandingkan dengan sepupuku Chandra. Asal tahu aja, si chandra ditakdirkan mempunyai otak yang lebih encer dari otakku. Kejadiannya pas kelas 6 sd. Waktu itu kita (aku dan teman-teman perempuan ) keasyikan main di lapangan, nyampe-nyampe nggak sadar kalau bel masuk sudah berbunyi beberapa menit sebelumnya. Nah, pas masuk kelas pak guru yang cukup kami takuti sudah berdiri di depan kelas sambil menerangkan pelajaran yang paling tidak aku sukai. Yups, matematika. Dan, sialnya lagi diantara temen-temenku yang lain aku ditodong untuk mengerjakan soal yang udah menuggu di papan tulis. Aku pun terpaksa maju, satu dua menit aku hanya memegang kapur sambil menatap ke papan, berharap ada bisikan gaib yang menyuruhku menulis apa gitu, hehe. Lama-lama pak guru yang tak bisa kusebutkan namanya, kasian juga ngeliatku dan mempersilahkan aku duduk. Tapi yang nggak enak itu statementny it loh, "Aduh gimana ini Ndra, sepupunya nggak ketolong " ucap pak guru sambil menoleh ke sepupuku. Mulai detik itu, aku baru sadar kalau punya sepupu pintar tapi kitanya kurang pintar itu nggak enak juga y, jadi bahan pembandingan. Padahal jelas-jelas ini cuma sepupuan doang, kembar identik aja masih ada bedanya apalagi kita, yang jelas-jelas beda emak beda ayah.

Kalau enaknya lumayan banyak sih. Pertama karena si Chandra pintar dan kalau pintar udah pasti terkenal kan y. Jadilah aku ikut-ikutan tenar. Ceritanya nebeng popularitaslah. Secara dari sd kelas 4-6 (yang aku ingat dari kls 4) si chandra selalu rangking 1, dan aku jangan ngarep deh bisa nempatin rangking 1 selama masih sekelas dengan chandra, nemplok di ranking 2 aja udah pakai perjuangan ekstra keras, nyampe-nyampe aku bayangin kapan y bisa jadi juara 1. Haha, y iyalah pengen juga gitu ngeliat rapor dihiasi angka 1 yang super itu. Dan impianku itu terwujud pas kelas 1 smp. Keajaiban akhirnya terjadi juga, itu karena aku nggak sekelas dengan Chandra. Hehe, dan pas juara umum tetep aj jadi rangking 3. Nah, untuk tahun-tahun berikutnya jangan tanyakan lagi, kelas 2 dan 3 sempurna aku mati-matian mempertahankan posisi di 5 besar akibat masuk kelas unggulan.Yang kedua, enaknya itu kalau aku nggak tau PR spesial for mtk dan itung-itungan sejenisnya tinggal tanya aja dengan Chandra. Pertama ya minta jelasin aja, tapi kalo akunya nggak mudeng-mudeng juga y, dengan berat hati aku melihat pekerjaan sepupuku. Hihi, yang berat hati itu aku atau chandra y. Terus kalo pas ujian ni, secara nama kita kan urutan chandra chandri, kalau pembagian ruang ujian otomatis satu ruangan terus kan, lah pas UN aja kita duduk sebelahan. Ya, apalagi kalau udah buntu banget tinggal pasang muka memelas, sambil ngelirik gitu.
Kalau udah gitu Chandra langsung menawarkan pertolongan.

"Nomor berape ti?”

Tapi gak sering-sering amat loh, khusus untuk beberapa pelajaran aja. Dan yang paling parah itu pas UN SMP, pelajaran you know what? Matematika, sempurna jawaban kita sama semua, tepatnya aku mencontek habis-habisan dari Chandra. Alhasil nilainya pun sama sampai ke koma komanya. Masalahnya waktu itu tahun pertama diberlakukan standar kelulusan UN, jadi aku takut sekali kalau kesandung di MTK, dan chandra juga nggak tega kali ngeliat sepupunya nggak lulus. Kalo dipikir-pikir sekarang itu termasuk dosa nggak y? Kalo dosa itu terhitung pas baligh, berarti belum dicatat malaikat (kan masih anak2 :p #ngeles) tapi tetap aja jangan ditiru y. Di masa sd dn smp itu, kadang aku meragukan kemampuan otak ini . Jangan-jangan karena sepupuku aj aku jadi agak pintar. Maka dari itu, setamat smp aku bertekad harus merdeka dari ketergantungan pada sepupuku, ketergantungan? obat kali y. Yah intinya, aku ingin bebas dari bayang-bayangnya Chandra.


Lanjut ke masa SMA, akhirnya kita beda sekolah meski sama-sama hijrah ke kota Jambi. Chandra lulus di SMA 1, dan aku mengikuti keinginan emak masuk ke pontren alhidayah di pal 10 kotabaru. Sebenarny sih, aku juga pengen masuk kesana, sekolah unggulan, favorit pula. Tapi aku paling gak tega nolak permintaan emak yang sudah kecewa dengan abangku yang kabur dari pondok pada tahun kedua. Dan tambah lagi aku ingin bebas dari baying-bayang chandra, tepatnya nggak ketergantungan lagi dalam hal pelajaran . Jadilah aku anak asrama selama tiga tahun. Sayangnya, meski udah bebas dari bayang-bayang chandra tetap aj gak bisa lepas dari namanya.
Kejadian terbaru kemaren, pas nandatangani spj kepanitiaan orientasi pasca UNY, namaku tertulis chandra febri santi. Mbak tukang ketiknya nggak percaya amat ni  namaku chandri bukan chandra. Waktu nyoblos capres n cawapres juga dipanggil chandra febri santi, padahal jelas-jelas disitu tertulis CHANDRI FEBRI SANTI pake huruf kapital pula. Intinya nama chandra lebih familiar dan lebih diterima dari nama chandri.

Dan yang gak enak berikutnya kalau sesi perkenalan. Komentarnya macem-macem. Namany unik ya, ehm lebih halus deh daripada namanya aneh. Orang india y, ini komen dari dosen pragmatikku dulu, ya ampun prof ini betulan nggak tau atau nyindir y, jelas-jelas tampangku nggak ada india-indianya... dan yang paling nggak enak itu kalo komentator nanya, arti namanya apa? Beneran deh, nggak bisa jawab :p


Yogyakarta 15 Sept 14

Kamis, 11 September 2014

Si caca pake jilbab


Seneng itu, ketika dapat kabar dari ayuk kalau si caca (salsabila atsabita haniya) sudah memilih pakai jilbab kalo pergi ke sekolah. Nah, Ini tu foto hari pertamanya masuk SD. Entah apa yang menggerakkan hati caca untuk pakai jilbab. Awalnya aku sudah melakukan jurus pendekatan dengan menawarkan membeli seragam baju dan rok panjang, alhamdulillah tawaran bersambut dengan alasan biar nggak item. Nah, pas giliran nawarin pake jilbab sekalian, langsung dah ditolak mentah-mentah.



"Nah, bajunye panjang, roknye panjang, sekalianlah nak pake jilbab, pasti tambah comel, kepalanye idak panas…"
“Aii, apelah cik te ni. Panas tauk pake jilbab tu.”
Belum juga selesai aku melancarkan serangan, caca sudah motong duluan. Hmm, aku menarik nafas kecewa.
“Ye lah hai, suke-suke caca lah.” 
Aku menyerah.
“Nantek, kalau sudah besak je pakai jilababnye ye”. Ayukku membantu negoisasi dengan menyebutkan jilabab, plesetan caca untuk jilbab waktu dulu. 
“Iye, pas kelas 6 pake jilbab ye, eh kelas 5 lah.” Aku kembali bersemangat.
“Eh, aku nak pegi maen dulu lah.” caca lari keluar, meninggalkan kami yang gagal.

Hari pertama pulang sekolah.
“Kekmane nak sekolahnye?” Tanya kakakku, diikuti dengan aku dan adekku yang siap mendengarkan celotehan caca.
“Ehm, kek itulah.”
“Sudah dapat kawan baru belum, ade yang pakai jilabab dak nak? ” brondongku.
“Ade sikok yang pake jilbab yuk”. Jawab adekku, dia yang bertugas antar jemput caca pagi ini.
“Tu…kan nak, adelah yang pake jilbab”. Tanggapku dengan semangat.
Caca tak menjawab, dia sibuk dengan lengan bajunya yang memang agak kebesaran sambil menggumam lirih.
“Apelah baju budak caca tu, lengannye panjang, digulung pulak tu”. 
“Siape yang bilang caca kekgitu?” Potong kakakku dengan berapi-api.
“Eh, tak adelah muk, kate aku deweklah”. jawab caca sambil senyum. Huah, kami bertiga geleng-geleng kepala.

Sicaca memang agak sensitif dan suka berandai-andai. Terkadang juga suka bersikap dan berbicara layaknya orang dewasa. Dan aku rasa, takdir yang dijalaninya memang membuat ia lebih cepat dewasa dari umur yang sebenarnya. Diumur yang masih balita, ia sudah menentukan pilihan hidupnya. Lebih memilih tinggal bersama nenek dan atuk daripada ikut ibu dan ayah tiri. Bukannya si ayah dan kakak tiri yang kejam, tapi caca merasa lebih aman dan nyaman tinggal bersama kami yang sudah dikenalnya sejak lahir. Jadilah caca sebagai satu-satunya cucu yang besar di rumah kami.


Beberapa hari setelah sekolah, siang itu aku mengajari caca dan nisa, keponakan dari abangku yang juga baru masuk sekolah. Ceritanya aku guru, dan mereka muridnya.

Lagi enak-enaknya nulis,tiba-tiba si caca nyeletuk. 
“Cik te, kalau orang baek tu masuk surge ye?” Ia menolehku, sambil memamerkan gigi-gigi depannya yang ompong.
“Iyelah, kalau baik masuk surge, kalau jahat masuk nerake.” Jawabku kaget, tumben-tumbennya dia yang memulai percakapan tentang surga dan neraka. Biasanya, aku yang memulainya duluan, entah dengan buku cerita,video ataupun sikapnya yang kukaitkan dengan kebaikan dan kejahatan yang akan diperhitungkan oleh Allah. Tentunya dengan logika anak kecil.
“Terus, kalau nak masuk surge tu kekmane cik te?” lanjutnya.
“Ehm, harus sholat, rajin ngaji, baek dengan orang tue, dengan kawan, nutup aurat, pake jilabab.” 
“Aku tak bise ngaji cik te.” Tanggapnya, padahal aku ngarep dia bilang mau pake jilbab ;) .
“Makenye belajar, ok? Nah, mane tugasnye, sini cik te ponten.” Percakapan selesai, dan aku berdoa dalam hati supaya caca kelak jadi anak yang solehah.

Malam minggu kemaren, tepatnya tiga minggu setelah caca sekolah, aku menelpon ke rumah. Biasalah, sekedar berkirim kabar dan menanyakan kabar masing-masing. Terkadang berjauhan itu justru membuat kita menjadi semakin dekat bukan.
"Caca sekarang sudah pakai jilabab cik te." Ayukku langsung memberikan kabar gembira.
“Haa, iye ye?” Aku teriak setengah tak percaya.
“Kok mau?”
Lantas, ayukku menceritakan sedikit tingkah caca sebelum memutuskan untuk berjilbab.
“Muk, ngapelah cik te tu pakai jilbab terus, idak risau ape muk.” Tanyanya di suatu kesempatan.
“Aku nak kayak cik te ah, dak mau pacaran, aku nak kuliah be.” salah satu pernyataanya yang bikin aku senyum sendiri, dikiranya aku nggak pacaran karena karena sibuk kuliah kali y.
“Muk, aku cantik dak kalau pake jilbab, comel dak muk?” tanyanya lagi di kesempatan yang lain.
“Muk, aku mau sekolah pake jilbab lah muk.” Putusnya.

Alhamdulillah, mudah-mudahan istiqamah y nak. Semoga Allah senantiasa menjagamu.
Cat:
@Cik te: asalnya mak cik/kecik, panggilan untuk bibi. Karena dirumah dipanggil santi, jadinya diperpendek lagi jadi te, jadilah cik te. Lagian gak nyambung kali kalo dipanggil cik chan, hehe...terlalu keren itu mah
@Muk: asalnya mak muk/gemuk, panggilan untuk bibi juga. panggilan untuk ayukku yang nomor 4, karena dia yang paling mencerminkan sebutan tersebut :p
@comel: imut .

Minggu, 31 Agustus 2014

Kepada dia

Kepada dia yang aku tak tahu siapa. Mungkin kita sesama orang asing tak mengenal satu sama lain. Kita pernah berdiri di bumi yang sama. Tapi kita tetap pada jejak masing- masing. Atau mungkin kita begitu dekat, tapi tak menyapa satu sama lain. Sebab kita tak ingin naluri hati mendahului takdir.

Kepada dia yang aku tak tahu dimana. Kita seperti rintik hujan, yang mengikuti kehendak awan. Menurunkan dimana yang dia suka, tanpa bisa meminta. Ikuti saja permainannya, karena awan tak pernah salah melahirkan hujan. Sebab awan akan menghantarkan hujan ditempat yang sempurna, hingga kita bertemu pada muara yang sama.

Kepada dia yang aku tak tahu bila waktunya. Waktu itu seperti jalannya kereta, berjalan dalam jalur yang ada dengan jadwal yang tertata. Begitulah waktu mengatur pertemuan kita. Karena waktu, hanya menjalankan apa yang telah tertulis di atas sana. Dan…, aku kira kita hanya perlu menunggu di stasiunnya. Jadi teruslah melangkah. Hingga saatnya nanti, kita berada dalam kereta dan gerbong yang sama dengan tujuan yang serupa.

Note: Sebenarnya ini puisi yang bertemakan 5W 1H tentang si dia yang belum selesai... :)

Kamis, 05 Juni 2014

Kisah Dibalik Nama Part 1



Untuk yang kesekian kalinya, aku dikira laki-laki... sejak dari SD sampai kuliah, bahkan mungkin akan berlanjut pada masa yang selanjutnya... CHANDRI... memang sih yang lebih familiar itu nama CHANDRA dan kebanyakan chandra itu nama laki-laki y, jadi chandri pun dikira laki-laki. Dan mengapa namaku jadi chandri, itu juga gara-gara chandra . Oke begini ceritanya.
25 tahun yang silam aku lahir di bumi ini, tepatnya pada malam sabtu 3 februari 1989 di kampung laut alias perkampungan yang berada di pinggir laut. Dengan bantuan seorang dukun kampung, alhamdulillah aku pun lahir dengan selamat. Nah, si dukun kemudian mengusulkan nama santi untukku. Kenapa santi? Karena aku lahir di malam sabtu, simpel bingit kan :( . Sebagai ucapan terimakasih, emak dan ayah pun menerima nama itu. Dan aku si bayi itu, sebenarnya mau protes, mbok ya kasi nama yang ngislami gitu loh, tapi apa mau dikata, bayi tak bisa bicara, dan emak dan ayah juga belum terlalu paham dengan nama sebagai doa untuk anaknya. Yang penting orangtua ridho, Allah pun ridho :).
Dulu di usia balita kalau ditanya, “Namanya siapa?” Tentu saja jawabanku adalah “Santi”, dan aku tak menyangka sama sekali kalau namaku bakal bertambah panjang saat akan masuk SD (dulu di kampungku belum ad TK L ). Yups, masalah penambahan nama itu diawali saat masuk sekolah. Aku masuk sekolah berbarengan dengan sepupuku, usianya terpaut 6 bulan diatasku. Namanya Agus, karena dia lahir di bulan Agustus. Salah satu persyaratan untuk masuk sekolah adalah membuat akte kelahiran. Nah, karena orangtua kami sudah terlalu tua dan capek untuk mengurusnya, urusan akte itupun diserahkan kepada kakak-kakak kami (kakakku dan kakak sepupu).
Aku tidak terlalu ingat detail kejadiannya, maklum masih 5,5 tahun. Yang jelas mereka berdiskusi panjang kali lebar. Membicarakan nama-nama yang mulai trend saat itu, dan nama-nama singkat seperti nama mereka sudah mulai ketinggalan zaman :D . Entah darimana idenya, tiba-tiba nama chandra tercetus dari mereka. Mungkin nama chandra lagi naik daun waktu itu. Jadilah nama sepupuku Chandra Agusta, naik derajatkan tu nama. Dari agus jadi Chandra Agusta. Dan untuk namaku, bisa ditebakkan? biar lucu,serasi, dan seperti kembar, padahal yang kembar itu kan kakak dan abang yang berada diatasku, tapi hanya sempat hidup beberapa jam saja. Mungkin mereka juga masih terobsesi punya adik kembar. Akhirnya namaku pun ditambah menjadi chandri, dan karena lahir di bulan februari ditambahlah febri dan terakhir sebagai pelengkap nama kecilku santi. Sehingga jadilah Chandri Febri Santi sebagai nama baruku. Dan nama itupun sah menjadi nama resmi kami (memang ada ya nama tidak resmi, kayak surat aja). Demikianlah kisah di balik nama unik saiiiiyaaa :)


Senin, 19 Mei 2014

Menyapa penunggu malam



Yogyakarta 13 05 14

Dinginya malam ini menyusuri tiap ruas jalan. Membuat insan malas untuk keluar, kalaupun ingin meski hanya untuk urusan mencari makan. Begitu pula kami, meski bukan untuk makan tapi lebih pada kewajiban ataupun soal kepercayaan. 

Jalan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, jalan yang lengang antara peternakan UGM dan teknik UNY. Pembatas antara dua universitas itu, kedatangan tamu malam ini.Di trotoar sempit, Duduk bersandar pada besi yang dingin, memandang langit. seorang lelaki dengan wajah separuh abad. 

Tatapnya beralih pada kami. Sorot matanya menjawab pasti. Aku menunggu malam demi butir keringat yang menjelma dalam anyaman bambu. Tak perlulah aku berharap nasi padamu nak, karena aku mencari, bukan berharap akan diberi. 

Sungguh, tak ingin kami menyakiti, tapi sungguh Tuhan Maha Mengasihi. Terimalah ini meski hanya sekotak nasi. untuk temanmu bertamu, menunggu malam disini hingga fajar menghantar matahari.

Tapi, anyaman bambu itu pun tlah memanggil nurani. Marilah sini, titipkan pada kami. lewat ribuan rupiah mungkin lebih berarti.

Senyumnya cerah sebab Tuhan tak pernah salah. Matanya berbinar, sebab Tuhan tak pernah ingkar pada hambanya yang berikhtiar.