Jumat, 24 April 2015

Sekilas Cerita Tentang Ustaz Hasbullah


Hari ini melihat postingan sekolah qur’an dan hadis dari seorang guruku dulu. Lazimnya kami memanggilnya dengan sebutan ustaz. Alhamdulillah ustaz sudah membuka sendiri sekolah yang menjadikan Alqur’an dan hadis sebagai pondasi awal dari pendidikan. 
 
Tetiba jadi ingat bagaimana ketika beliau dulu mengajar kami di pondok. Namanya ustad Hasbullah Ahmad Daeng Masalleh. Dari namanya sudah tahu kan kalau ustaz ini bersuku bugis. Salah satu ustaz yang tak pernah aku tidur kalau beliau yang mengajar, hehe. Asal tahu aja, dulu itu aku langganan tidur di kelas, lebih tepatnya tertidur sih, tapi kadang-kadang juga sengaja menidurkan diri. Nggak tahu kenapa ya mungkin karena glukosa yang tidak terbakar setelah sarapan sama sambal tribol alias teri main sepak bola kacang tanah. Terus jalan dari asrama ke kelas cuma hitungan menit. Setengah jam ustaz ustazah menyampaikan pelajaran kalau gayanya monoton dan ditambah lagi aku tidak mengerti apa yang dijelaskan alamat sudah mataku mulai berat. Perkataan mereka seolah berubah menjadi dongeng indah yang membuat aku jatuh tertidur. Hebatnya, aku nggak pernah tidur jika ustaz Hasbullah yang mengajar. Tau kenapa? Karena, selalu menarik mendengarkan ustaz berbicara, menyampaikan pelajaran dengan cerdas dan ikhlas. Belum lagi jika menyimak cerita-ceritanya yang bikin aku iri luar biasa. 

Salah satunya, Ustaz pernah cerita diajak umroh gratis sama orang Malaysia di bulan Ramadhan, kemudian sholat tarawihnya berada di shaf bagian depan.  Persis di depan ka’bah. Coba bayangkan, di bulan puasa, bulan yang penuh berkah, di baitullah rumah pertamanya Allah, di barisan paling depan pula,  yaitu sebaik-baiknya shaf bagi jamaah laki-laki. Saat itu aku segera membayangkan suatu saat aku juga berada di depan ka’bah di bulan penuh berkah. Entah kapan waktunya aku serahkan pada Allah subhanawata’ala.

Ustaz selalu sabar dalam mengajar. Ingat sekali saat disuruh menghafalkan surat Aljumuah ayat 10 dan Alhujarat ayat 11. Waktu itu kitanya protes keras. Kelas kami paling banyak protes deh pokoknya, akibatnya dapat gelar kelas baltoji (preman) dari ustaz yang lain, dan sedihnya aku pula yang jadi ketua kelasnya dua tahun berturut-turut pula. Nggak minta sih, tapi kepaksa oleh suara terbanyak.

“Ustaz, ustaz- ustazah sebelumnya nggak ada nyuruh ngapalin kok Taz.” Waktu itu kami duduk di kelas tingkat akhir. Mungkin sebenarnya ustaz mau membekali kami dengan beberapa ayat dan hadis yang nantinya bisa disampaikan pada orang lain.

“Dicoba dulu.” Dengan sabar ustaz berusaha tidak menyerah.

“Tugas hafalan kita yang lain kan udah banyak taz, juz 30 aja belum tamat-tamat.” Kami itu mangkelnya luar biasa. Tiga tahun di ponpes cuma hafal juz 30 saja, ngapalin yang diwajibin saja. Padahal tiga tahun bisa saja hafal 30 juz, sungguh terlalu. 

Tapi ustaz tidak kehabisan akal. Akhirnya dihafallah itu ayat bareng-bareng. Ustaz baca, terus kita ikutin. Karena suara ustaz merdu lama-lama kita jadi senang ngapalinnya. Suara ustaz yang merdu bikin semangat buat menghafalkan potongan ayat Alqur’an dan hadis yang diajarkannya pada kami.

Seingatku Ustaz juga nggak pernah memarahi kami. Ciri khasnya itu selalu tersenyum lebar lima senti ke kanan lima senti ke kiri dan ditahan lima menit, kayaknya lebih lima menit deh. Kalau kitanya nakal biasanya dinasehati dengan lemah lembut. Makanya, kalau ada ustaz-ustazah yang berhalangan hadir, kita biasanya dengan senang hati minta ustaz Hasbullah yang gantiin. 

Dan ustaz juga paham sekali dengan keadaan santri-santrinya. Pernah suatu ketika kami, aku dan Vika selesai belajar kelas sore dan bertemu ustaz yang baru datang dari luar. Terus kita iseng aja mau pinjam motor ustaz buat muter-muter keluar.

“Ustaz pinjam motor ya kita mau jalan-jalan sebentar aja. Refreshing taz belajar terus ni buat UN.” Sambil pasang tampang semelas mungkin. Kening ustaz berkerut sebentar kemudian digantikan dengan senyum lebar.

“Ok, jangan jauh-jauh, jangan lama-lama ya.” Tangan ustaz menyodorkan kunci dengan senyum yang masih bertengger.

Aku dan Vika menyambutnya dengan senyum yang tak kalah sumringah. Kita pun meluncur keluar ponpes. Sesuai pesan ustaz nggak lama-lama cuma 10 menitan aja, tapi senangnya luar biasa. Bagi anak asrama dapat izin keluar pagar itu suatu berkah yang tak terkira. Karena kata izin adalah kata langka yang butuh usaha untuk mendapatkannya :) 

Banyak sekali yang beliau ajarkan pada kami, baik melalui lisan ataupun perbuatan. Salah satu pepatah arab yang sering ustaz ujarkan adalah
“ I’imal liddunyaka kaannaka taa’isyu ‘abada w’amal liakhirotika kaannaka tamutu ghoda” yang artinya “beramallah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok harinya.” Dan satu lagi kata-kata yang paling sering ustaz sampaikan ialah “Hidup ini bergerak, bergerak berarti ada perubahan. Bila hidup tidak ada perubahan berarti mati dalam kehidupan.”

Aku akan selalu ingat dengan dua kalimat ini.
Syukron jazakallah ya taz untuk ilmunya. Sukses terus untuk ustaz dan keluarga. 

Yogyakarta 24 April 2015  

Sabtu, 14 Maret 2015

Bahasa Indonesia, Aku Padamu

Habis ngunjungin blog sebelah, isinya cerita tentang kegalauan memilih jurusan waktu mau kuliah. Tetiba, aku jadi ingat masa-masa itu juga.

Galau pilih jurusan? Sama, dulu kakak (jadi merasa udah tua deh) juga begitu loh adek-adek. Berawal dari Aliyah, aku jadi suka sekali dengan bahasa Inggris, selain gurunya asyik, anggapanku dulu keren aja gitu lo bisa cas cis cus pake bahasa Internasional dan ntar biar gampang kalau mau keluar negri. Tiga tahun berjalan, diakhir kelulusan dapat tawaran beasiswa dari Kemenag untuk lanjut di UGM. Ah, senangnya bukan kepalang, meski awalnya aku ngincernya ke UI. Tapi, UGM juga oke punya kan. Aku sudah membayangkan, kalau S1 di Pulau Jawa, S2 mungkin bisa di luar negara. Sayangnya, kesenanganku itu tidak dibarengi dengan usaha yang luar biasa. Yang berhasil lulus di UGM adalah si Chandra sepupuku, bukan si Chandri, meski kita tes lewat jalur yang berbeda. Akhirnya mimpi jadi mahasiswa yang bisa kuliah gratisan di FIB UGM Sastra Inggris hanya terwujud dalam angan saja. Hiks, sedihnya diriku kala itu. Tapi, hidup harus terus dilanjutkan sodara-sodara. Gagal kuliah di Pulau Jawa, Pulau Sumatera jadi alternatif satu-satunya, nggak pake keluar kota pula, hehe.

Pilihan terakhir, aku pun mendaftar di Universitas Negeri satu-satunya di kotaku. Nah, disinilah kegalauanku mulai muncul. Inginnya aku ambil bahasa Inggris lagi, tapi bukan menjadi guru. Masalahnya di Universitas Jambi belum ada FIB adanya FKIP. Padahal aku nggak ada niat jadi guru sebelumnya. Setelah beberapa minggu terdilema, ujung-ujungnya pilihan pertamaku kujatuhkan pada bahasa Inggris dan pilihan kedua pada bahasa Indonesia. Kali ini aku belajar sungguh-sungguh untuk menghadapi SPMB, kalau sekarang namanya SNMPTN ya? Atau sudah berubah lagi? Suka gonta-ganti nama sih. Alhamdulillah, usahaku tak sia-sia, aku lulus SPMB, tapi bukan pilihan pertama melainkan pilihan kedua. Hiks sedihnya aku tak bisa digambarkan dengan kata-kata (alay ya).

Awal-awal kuliah, aku jauh dari kata semangat. Intinya, aku terpaksa kuliah di jurusan bahasa Indonesia, jadi guru pula.
Kalau ditanya “Kuliah jurusan apa?”
“Bahasa Indonesia.”
” Loh, kan kita sudah bisa bahasa Indonesia, kenapa harus kuliah bahasa Indonesia lagi?”
Kalau boleh bilang waktu itu, sakitnya tuh disini. Ternyata pandangan beberapa orang tentang kuliah bahasa Indonesia menyedihkan sekali. Sampai suatu ketika teman sekelasku berkata “Bahasa Indonesia itu akan selalu ada, karena dia bahasa negara kita.” Mulai dari sana, aku menyadari pentingnya bahasa Indonesia. Coba bayangkan saja kalau tidak ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mau pakai bahasa daerahnya siapa coba? Secara Indonesia yang kaya ini punya beribu bahasa. Menetapkan bahasa negara itu bukan perkara mudah. Banyak contoh negara yang harus berjuang dengan cerita yang panjang, penuh konflik hanya untuk menetapkan bahasa nasional negara. Sebut saja Filipina, India, Belgia bahkan Amerika baru menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara di tahun 2006. Dan kita, sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928, alhamdulillah tidak ada yang protes. Suku jawa, bugis, batak, semua menerima dengan lapang dada. Tidak ada kecemburuan sosial. Maka, sudah sepatutnya kita berterimakasih pada para pemuda yang mendeklarasikan sumpah pemuda waktu itu. Sudah selayaknya kita berterimakasih pada bahasa Indonesia yang menjadi pemersatu bangsa kita. Dan, tidak ada salahnya juga kalian berterimaksih kepada kita anak-anak yang memilih jurusan bahasa Indonesia, hehe :) . Dari perenungan panjang aku mulai mengubah cara pandangku terhadap bahasa Indonesia. Lagipula, kuliah jurusan bahasa Indonesia bukan berarti nggak bisa belajar bahasa Inggris kan. Pikiranku dulu dangkal sekali.

Aku mulai semangat kuliah, ditambah lagi ada kelas kekhususan sesuai minat masing-masing. Ada kelas teater, sastra dan jurnalistik. Pilihanku jatuh pada jurnalistik. Kenapa? karena niatnya ambil sastra inggris itu untuk jadi wartawan, biar bisa keliling dunia gratisan, hehe. Semester tujuh, kita pun dimagangkan di media cetak dan elektronik. Waktu itu aku dan kelompokku dimagangkan di TVRI Jambi. Dua bulan magang, aku mulai pikir ulang untuk menjadi wartawan. Kerja dibawah tekanan, jam sekian draf berita harus naik dan besok harus sudah punya topik. Belum lagi godaannya, kalau nggak kuat iman bahaya sodara-sodara. Tawaran dari pimred untuk melanjutkan magang pun kami tolak, kecuali temanku Abdul Manan seorang yang sekarang sudah jadi wartawan tetap di sana.
Alih-alih jadi wartawan, menjadi guru ternyata lebih menyenangkan. Bisa mencerdaskan anak bangsa dengan bahasa Indonesia. Secara bahasa Indonesia kan bahasa nasional, bahasa pengantar, bahasa yang dipakai buat siswa belajar dan guru mengajar. Dan siapakah yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka semua? Kita loh, guru bahasa Indonesia. Nggak sombong sih, tapi memang iya kan :). Mau jadi dokter kek, akuntan kek, pegawai kek, guru mtk, guru fisika, bahkan guru bahasa Inggris pun semuanya mesti belajar bahasa Indonesia dulu.

Lebih kurang satu tahun setengah mengajar, aku mulai berpikir untuk mencoba profesi yang lain. Bagaimana kalau aku mencoba untuk menjadi gurunya untuk calon guru yang kelak mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Alias dosen. Keinginanku bersambut dengan dibukanya penawaran Beasiswa BPPDN. Kalau S1 tak bisa ke Pulau Jawa dan dapat beasiswa, semoga S2 ini bisa mendalami ilmu di sana plus beasiswanya. Dan Alhamdulillah Allah yang Maha Baik mengabulkan pintaku. Lanjut S2 dengan beasiswa di Pulau Jawa, di kota pelajar. Kota yang dulu kuimpikan untuk menimba ilmu semasa S1. Walaupun bukan di UGM, tapi di kampus tetangganya alias UNY, aku sudah sangat bersyukur sekali.

Tiada henti syukurku padamu ya Allah. Nikmat-Mu yang mana lagikah yang bisa aku dustakan. S1 nggak bisa keluar pulau, alhamdulillah S2 kesampaian. S2 belum bisa keluar negeri, mungkin Allah izinkannya nanti ketika aku ingin S3 atau setelah aku menyandang gelar S3 (baca istri) untuk mendampingi suami ;)

Oya, terimakasih bahasa Indonesia, kalau dulu aku menjadikanmu yang kedua, itu karena aku tak mengenalmu. Sekarang, kau satu-satunya dan yang utama. Terimakasih bahasa Indonesia, aku padamu.

Chan F San Yogyakarta 14 Maret 2015

Jumat, 06 Maret 2015

Masih Tentang Nama

Ini masih tentang nama, tapi bukan tentang namaku lagi ya. Ini tentang nama adik kandung perempuanku satu-satunya. Cukup satu aja ya, satu aja sudah buat aku pusing kepala. Sebenarnya, selain namaku yang cantik dan rada unik ini (narsis mode on) nama adikku juga punya cerita yang nggak kalah nyentrik lo. Jadi, dalam keluargaku itu, cuma nama kami berdua yang berbeda dengan nama saudara-saudara yang lain. Cuma nama kami berdua yang paling panjang dan bernuansa kekinian, hehe apa sih. Yang penting itu kan nama harus bermuatan doa' dan bernuansa keislaman. Tapi, ya sudahlah. Nama sudah dicetak diatas akte lahir, data sudah tercatat di catatan sipil. 

Perkenalkan, nama adikku Imelda Dwi Yanti. Mungkin kalian banyak yang mengira kalau adikku itu mesti anak kedua. Sayangnya perkiraan itu salah besar sodara-sodara. Adikku anak kedelapan dari delapan bersaudara. Iya, kita itu the big family loh. Aku sempat menyandang status anak bungsu selama lima tahun setengah. Punya empat kakak dua abang dan satu adik. Enaknya punya kakak sering dibeliin barang, dan sering dikasi barang-barangnya yang kita senangi, biasanya ya dikasi. Jarang sekali nggak dituruti. Naluri kakak ke adik tu begitu ya, aku sama adikku juga gitu. Tas, baju, jilbab, sandal, sepatu. Itu barang yang biasanya jadi sasaran permintaan. Enaknya punya Abang bisa dimintain uang :)

Jadi di rumah itu  sudah ada yang ngerjain bagian masing-masing apalagi urusan dapur. Aku dan adikku paling jarang berada di dapur. Bukannya nggak mau bantuin. Tapi, akunya memang jarang dirumah sejak sekolah dasar. Lanjut aliyah, masuk sekolah yang asrama. Mau makan tinggal bawa rantang dan ngantri deh di dapur umum. Tiga tahun jadi pengonsumsi masakan katering. Kuliah, tinggal sama bibi, sama kakak sepupu. Urusan dapur aku paling jarang ikut campur, bantu-bantunya ya jagain ponakan. Kalau pulang liburan atau lebaran ke rumah, sudah ada kakak yang bantuin, dan biasanya aku dipercayakan untuk urusan menata dan membersihkan rumah. Dan sekarang jadi anak kos, beralih selera menjadi pengonsumsi masakan warung burjo yang ala sunda, masakan padang ala sumatra dan masakan manis yang asli Jawa. Bukannya nggak mau belajar, tapi kalau ada yang cepat siap dan harga bersahabat, mengapa tidak? (alibi) Lagian kasian anak kos kalau jadi kelinci percobaan eksperimenku. Prakteknya, ntar deh nunggu ada yang dengan senang hati bersedia jadi kelinci percobaan, eh.

Akibatnya, aku jadi nggak ahli kalau berurusan dengan masakan dan bumbunya. Kalau masakan standar bisa lah ya, tapi ya nggak dengan kualitas sekaliber yang expert judgment. Makanya, adikku yang lebih manja dariku itu tak masukin Sekolah Tata Boga biar punya keahlian, supaya rajin ke dapur, dan ntar kan aku bisa belajar. Oh ya, enaknya punya adik itu bisa disuruh-suruh, loh. Bahasa halusnya bisa dimintai tolong, dek ambilkan itu, dek belikan ini dong, dek antarin kesana ya. Alhamdulillah ya, punya empat kakak, dua abang dan satu adik.

Nah, kembali ke soal nama si adik. Adikku lahir beberapa bulan setelah keponakan pertamaku lahir. Abang iparku pun berencana untuk membuat kartu keluarga dan akte lahir untuk anaknya ke Kuala Tungkal sana (Provinsi Jambi). Waktu itu kabupaten Tanjab Timur dan Barat masih bersatu dalam wilayah Tanjung Jabung. Pergilah si abang ke sana dengan membawa kartu keluarganya dia dan punya kakakku. Setelah melapor kekantor yang bersangkutan, ternyata kartu keluarga kami yang ada aku dan kakakku juga harus diperbaharui. Karena kakak pertamaku sudah tidak terdaftar lagi di sana, dan ditambah lagi nama adikku juga belum terdata. Celakanya, abang iparku tidak ingat nama lengkapnya adikku waktu itu. Dia cuma tahu panggilanya iyan saja. Jangan bayangkan ada handphone, wa, dan bm ya, apalagi facebook twitter dan sodara sosmed lainnya Telpon umum aja belum masuk. Setelah berpikir sesaat, maka tercetuslah nama Imelda Dwi Yanti untuk adikku. Pikirnya waktu itu, yang penting ada yantinya deh. Masalah Abangku paham kata dwi yang berarti dua dalam bahasa sansekerta, aku kurang tahu pasti. Dan mau tahu siapa nama asli adikku itu? Nama aslinya adalah MARDIYANTI :)

Dulu, kalau ada temannya yang ke rumah terus nanyain "Imelnya ada nggak Buk, Kak?" Kita suka loading dulu, emang ada yang namanya Imel ya di rumah ini. Sama sih kayak nasibku. Panggilan dirumah Santi, pas teman datang ke rumah nanyanya Chandri. Hehe, satu sama ya dek.

Solo 7 Maret 2015  

Minggu, 22 Februari 2015

Perjalanan Menuju Walimahan, Beda Kota Beda Budayanya


Jumat 20 Februari 15 , salah seorang sahabat Kalam (HIMMPAS UNY) sebut saja namanya Mawar, eh memang namanya Mawar Ramadhan ding  :) alhamdulillah telah menemukan lelaki terbaik yang dipilih Allah untuknya. Maka sebentuk undangan pun dikirim untuk para sahabat Kalam. Akhirnya, setelah satu tahun setengah di Jogja bisa juga numpang perbaikan gizi di kondangan. Hehe, :p Bener-bener pikiran anak kos y. Setelah woro-woro di grup, ternyata yang bisa pergi hanya kita berdua saja. Aku dan Resti Yektyastuti yang kebetulan dulunya juga  satu posko kkn sama si mawar. Jadinya , Resti dapat dua undangan sekaligus.
Karena pagi Jumat kita sudah punya agenda di mesjid FIP, kami pun memutuskan untuk berangkat ba'da zuhur, sambil menunggu pinjaman motor. Motornya si Resti lagi dipinjam sama temannya, maka Resti pun meminjam motor pada temannya yang lain. Nah temannya yang lain nggak tahu deh minjam sama siapa. Selesai agenda, ternyata perut kita sama-sama keroncongan. Mau nunggu makan di kondangan nggak tahan sama lambung yang sudah makin menggigit. Akhirnya kami ngacir sebentar ke foodcourt. Makan, minum, ngobrol ngalor ngidul. Obrolannya nggak jauh-jauh dari masa depan. Tesis dan setelah tesis. Tak terasa sudah jam setengah dua lewat. Menurut jadwal yang tertera di undangan, resepsinya mulai dari jam 13:00 s/d 15:00 wib. Jadi kita cuma punya waktu satu jam setengah lagi, dan itu acaranya di Kabupaten Bantul sana, ditambah lagi kami belum bersiap-siap. Kami pun  mempercepat langkah menuju parkiran."Jadi kita ke kos resti dulu atau ke kos kk, terus nanti resti jemput lagi?"
"Kelamaan nggak sih res, ke kos kk aja dulu y, sekalian siap-siap baru ke kos resti." Aku menawarkan solusi. 
"Tapi baju sama jilbab yang mau dipakai belum disetrika sih Res." Sambungku sambil nyengir kuda." 
"Sama, baju sama  jilbab  Resti juga belum disetrika." Resti balas nyengir. Hwaaah, ternyata kita sama aja. Resti segera mengarahkan motor temannya ke klebengan. Masuk kos, nyolokin setrika dan menggosok dengan super cepat. Pas akunya sudah siap, liat ke bawah, eh ada yang kelupaan belum ganti sandal. Masuk kos lagi, membongkar tempat penyimpanan, dan sandal ngumpetnya jauh di dasar. Alhasil Resti lumayan kepanasan di atas motor. Beralih ke kos Resti, masuk kos, nyolokin setrika, dan menggosok dengan super cepat. Tapi, mau secepat apapun kita menit  terus berjalan. Jam menunjukkan pukul dua lewat. Pas, sudah siap. Baru ingat kitanya belum beli kado. Nggak mungkin membawa diri aja kan, dan akhirnya kita  memutuskan untuk ngamplop. Resti yang ngakunya punya stok amplop nyempet-nyempetin ngubekin rak bukunya. 
"Aduh, dimana y tu amplop?"
"Udahlah Res, ntar kita beli di jalan aja." Usulku sambil melihat jam. Sudah hampir jam setengah tiga. Resti tanpa banyak bicara mengiyakan tawaranku. Berbekal peta yang ada di undangan, kami segera tancap gas menuju Bantul. Tidak tanggung-tanggung Resti membawa motor layaknya pembalap.  Beberapa kali aku melirik speedometer MasyaAllah 70 lebih, emang pembalap ni anak. Ini mau pergi walimahan atau balapan y. Sampai-sampai  kita hampir aja nyerempet seorang mbak-mbak  yang bermotor.  "Res, pelan-pelan aja lah." Tanganku udah pegel buat pegangan. 
"Sebentar lagi jam tiga tu  kak." Resti menunjukkan jam di tangannya. 
"Masa iya sih, jam tiga teng, kalau telat nggak ditungguin po?" Aku masih berargumen. Soalnya kan kalau di Jambi sana paling mentoknya sampai jam lima. Resti menjawab argumenku dengan tancap gas. Untungnya rumah mawar gampang ditemukan. Persis jam tiga teng akhirnya  kita sampai juga  di lokasi. Normalnya dari Sleman ke Bantul biasa ditempuh sekitar 45 menit sampai satu jam, dan kita cuma sekitar 30 menit, belum lagi tadi  dipotong waktu buat isi bensin.  Masuk, mengisi buku tamu dan mengeluarkan amplop yang alhamdulillah sempat  kita beli sebelum masuk lorong rumahnya Mawar.
"Salam dulu kita kak." Resti mendekatiku yang sudah bersiap menuju meja prasmanan. Aku sedikit bingung, salaman? "Bukannya makan dulu y?" Resti terlihat ragu, dan akhirnya menuju meja prasmanan. Berhubung tadi sudah makan, kami pun hanya mengambil sup dan sedikit lauk. Kami duduk bersebelahan  dengan teman Resti yang dulunya satu posko juga. Mereka saling bertukar kabar, dan aku sempat dengar Resti bertanya sudah salaman sama pengantinnya atau belum. Dan ternyata sudah. Aku jadi heran, kenapa si Resti dari tadi ngomongin salam. "Biasanya kalau di sini salaman dulu kak, baru makan." Resti menjawab kebingunganku. Oo begitukah? Jika lazimnya di daerah kami  makan dulu baru menyalami sekaligus foto-foto dengan dua mempelai. Tapi disini salam dulu baru makan-makan. Mau yang mana juga oke-oke aja sih ya, cuma takutnya tadi  ada yang mikir, ini mbak-mbak datang-datang langsung maem, laper banget apa ya. Hehe, semoga nggak lah ya. Lagi enak-enaknya makan, Resti sudah ngajakin salam. "Salamanlah lagi kita kak, nampak-nampaknya sudah mau beres-beres." Benar saja, begitu kita turun dari pelaminan, mereka sudah mulai membereskan peralatan makan. Ternyata beneran ontime nih resepsinya, jam tiga lewat 10 menit kami pun segera beranjak pulang. Luar biasa, pegel pinggangku belum juga hilang, eh sudah naik motor lagi. Sekali lagi teruntuk Mawar dan suami  "Barakallahulakuma wabaraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma filkhoir" semoga menjadi keluarga samara dunia akhirat  :) Kadonya nyusul y...