Senin, 13 Oktober 2014

Setahun di Jogja (Mengingat Kembali)

Alhamdulillah tahun ini masih diizinkan untuk bertemu dengan tamu agung syahruramadhan. Tak terasa ini tahun kedua aku berpuasa di jogja. Rasanya baru kemaren aku sibuk mengurus pendaftaran s2 yang sudah di batas akhir gelombang ketiga, sibuk mengejar pihak birokrat unja demi selembar surat rekomendasi beasiswa yang ternyata, eh tidak dibutuhkan :( , menyelesaikan amanah pekerjaan secepat yang kubisa dan tak lupa merayu abangku agar bersedia jadi donatur utama transportasi perjalanan ke kota ini. Syukurnya abang mau meloloskan beberapa lembar ratusan dari tabungan pernikahannya, muucih abangku yang baek hati :) . Meskipun hanya cukup untuk membeli tiket pesawat pergi, ini cukup menghemat waktu perjalananku, sebab sekolah hanya memberikan jatah izin kerja 3 hari saja. Masalah pulangnya percayakan pada bus Ramayana. Hitung-hitung pengalaman baru naik bis terjauh sendirian, terkadang terpaksa dan nggak punya itu beda tipis ya.

Sebenarnya, banyak yang harus dikorbankan demi s2 ini. Pertama, adIkku yang duduk di kelas 3 SMK harus bersedia menunda kuliahnya tahun depan. Walaupun judulnya beasiswa, tetap saja mahasiswa harus bayar di awal terlebih dahulu. Ya, pihak UNY yang menjadi tujuanku tidak bersedia menangguhkan biaya mahasiswa pendaftar BPPDN. Nah, nggak kebayangkan kalau aku dan adik masuk kuliah ditahun yang sama, sementara kami bukanlah dari keluarga yang punya banyak harta. Syukurnya lagi, adikku mau mengalah… muucih adikku yang cantik…Kedua, aku harus bersiap kehilangan pekerjaan yang sudah kujalani setahun ini. Kalaupun seandainya aku tidak lulus dan ingin kembali mengajar, maka harus memulai lagi dari awal. Yah begitulah ketetapan dari Sekolah IT, dan aku menghargai itu. Memikirkan kemungkinan terburuk tidak lulus itu, membuat dudukku tak nyaman. Dan yang ketiga kasihan abangku yang sudah rela menyumbangkan tabungannya hingga aku bisa duduk dalam burung besi ini.
“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara internasional Jogjakarta Adi Sucipto, tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Jogjakarta. Kami persilahkan kepada anda untuk kembali ke tempat duduk anda masing-masing, menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka di hadapan anda, dan…”
Suara mbak pramugari yang merdu memutus lamunanku. Aku menatap ke luar jendela, di bawah sana jogja sudah menjelma dalam titik-titik kecil. Pesawat semakin merendah dan sekilas aku menangkap tulisan UNY dari atap sebuah bangunan. Nah, sepertinya itu adalah calon kampus keduaku kelak. Aku kembali menggumamkan doa dalam hati. Allah, jika memang ada rizkiku untuk menuntut ilmu lagi, izinkanlah aku mencari ilmu itu di kota ini, maka luluskanlah aku S2 di UNY beserta beasiswanya. Sungguh Engkau maha pengasih, maha mengetahui apa yang terbaik untuk hambamu ini. Aku mengaminkan doa sembari menutup jendela. Jujur, doa ini adalah doa favoritku beberapa bulan belakangan ini, bahkan mengalahkan posisi doa jodoh dari urutan kedua menjadi ketiga :) . Posisi pertama tetap doa mohon ampun dan orang tua tentunya.

Turun dari lion air, aku bergegas menghidupkan hp, mengirim pesan pada Nisa yang akan menjemputku. 
” Dek, kk sdh smpai ni, kk pkai gmis kotak2 htam jlbab mrah, kk tgu y” tak lupa emoticon senyum :) ku selipkan juga.
Sms terkirim, Kini tinggal menunggu jawaban dan jemputan. Berdasarkan rekomendasi si Wirna teman seamanah di FPRJ (Forum Pemuda Remaja Jambi) aku ditawarkan untuk menginap di kosannya dulu waktu dia kuliah di UGM. Nah, si Nisa ini adalah adIk kosnya yang didaulat untuk menjemputku. Lima belas menit berlalu, hpku tidak menunjukkan tanda adanya pesan masuk. Aku mulai jenuh, ditambah lagi mas-mas taksi yang tak habis-habisnya menawari jasanya. Baiklah aku telpon saja, tuut tuut tanda panggilan masuk terdengar, dan diakhiri bunyi tuut panjang. Ah, mungkin Nisa lagi di jalan, aku berhusnuzhon untuk menenangkan hati. Dan benar saja, hpku bergetar, satu pesan diterima.

"kk dimna, ak sdh d bndra pntu msuk, ak pkai bju ijo jlbab itm"
“kk d pntu kdtngan ats yg dkt transjogja” plus emoticon senyum lagi :)
Beberapa menit kemudian, akhirnya Nisa muncul juga. Aku tersenyum lega.
“Afwan k, lama y?”
“Enggak kok dek, nggak papa.” Kali ini dengan senyuman asli :)

Kami segera meluncur, membelah jalan raya yang ramai. Kota pelajar ini tiap tahun selalu kedatangan mahasiswa-mahasiswa baru, tapi tidak setiap tahun mahasiswa-mahasiswa lama bisa meninggalkan jogja. Mungkin ini salah satu penyebab lalu lintas jogja semakin macet.
Lebih kurang 20 menit, Nisa mengarahkan motornya ke sebuah gapura yang diatasnya tertulis Selamat Datang di Kampung Klebengan. Eh, jauh-jauh dari jambi, ternyata tinggalnya di kampung juga, batinku. Sebenarnya Klebengan sudah tak terlalu asing di telingaku, karena si chandra sepupuku yang S1 di UGM dulu kosnya juga disini. Cuma yang baru kutahu itu,ternyata ada embel-embel kampungnya :) . Tapi ini kampung yang berbeda, setahun ini, tak menyesal aku mengiyakan rekomendasinya Wirna.
bersambung…

Ramadhan 1435 H

#Late post 


Sabtu, 04 Oktober 2014

Aku Yang Jarang Pulang

Aku yang jarang pulang ialah anak Emak dan Ayah yang keseringannya tidak pernah lama menetap di rumah. Dari sejak sekolah dasar  hingga saat ini aku tak pernah benar-benar ada dalam waktu yang panjang untuk berdiam di rumah. 

Masa SD adalah fase awal aku harus berpisah dari rumah. Meski tidak berpisah seutuhnya dari Emak dan Ayah, tetap saja akhir pekan itu terlalu sedikit bagiku untuk menghabiskan waktu di rumah. Pulang seminggu sekali hanya untuk menginap semalam saja di samping Emak dan tatapan mata Ayah . Ayah..., dulu aku sering berpikir kenapa rumah kita terlalu jauh dari yang namanya sekolah. Kenapa Ayah membangun rumah di tempat yang tidak banyak orang ingin membangun rumah? Sehingga aku tak perlu susah menumpang tinggal pada rumah yang lain. Lewat pekerjaan Ayah, akhirnya aku mengerti bahwa ini adalah tempatnya mencari nafkah. Aku belajar memahami, aku berusaha menerima dan berusaha membuang rasa iri pada teman-teman sekolah. Mereka yang setiap paginya dibantu ibunya menyiapkan pakaian sekolah, yang sarapannya selalu ditemani, yang bisa mencium tangan Ibu dan Ayahnya tiap pergi sekolah, dan memakan masakan ibunya ketika pulang ke rumah. 

9 tahun terlewati, aku harus lanjut sekolah lagi. Jadilah santriwati pinta Emak waktu itu . Meski separuh tak yakin aku tak ingin mengingkari. Sudahlah jarang berbakti, mana mungkin aku menolak keinginan hatimu Mak. Tapi, itu membuat aku semakin jauh dari rumah, semakin jauh dari Emak dan Ayah. Tiga tahun di asrama, Emak dan Ayah hanya sekali melihatku. Tapi aku tidak marah, toh aku tetap bisa pulang ketika liburan tiba. Meski sebenarnya aku merasa iri dengan mereka yang setidaknya satu dua bulan sekali dijenguk oleh orangtuanya. Bercerita tentang kehidupan asrama yang terkadang senang dan susah, menghabiskan hari minggu dengan belanja bersama, dan apapun itu yang mereka lakukan, sukses mengingatkanku pada Emak dan Ayah. Tapi, setidaknya aku punya banyak teman di asrama. Kami yang sama-sama datang dari desa, yang jauh dari Ayah dan Bunda, yang masih bisa tersenyum walau kiriman belum tiba. 

Tiga tahun begitu cepat, aku lulus dari kehidupan asrama. Meski aku sendiri merasa tak puas dengan sedikitnya ilmu yang didapat, dan aku yakin Emak juga kecewa karena aku belum pantas untuk dipanggil ustazah. Sebutan yang acapkali digunakan untuk mereka yang keluar dari sekolah pondok dan dianggap paham seutuhnya tentang agama. Maafkanlah aku Mak, karena memang hanya sedikit ilmu yang diajarkan dari ustaz dan ustazah. Bukankah dulu aku sudah pernah meminta untuk pindah ke tanah Jawa, ketika aku merasa tak puas  di sana. Tapi, Emak bilang terlalu jauh, terlalu susah untuk ditempuh. Aku tidak menyalahkan Emak dan Ayah, aku tangkap seberapa ilmu yang ada, meski aku tak merasa puas.

Aku masuk dunia kuliah. Dunia yang darinya aku mengenal sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang membuat perubahan besar dalam diri dan hidupku. Sesuatu yang membuat aku makin patuh pada Emak dan Ayah. Sesuatu itu bernama ukhuwah islamiyah. Meski karena itu aku semakin jarang pulang ke rumah. Maafkanlah, libur kuliah aku masih sibuk bersama teman-teman seakidah. Karena aku tahu Emak dan Ayah tak akan marah. Sekali waktu aku menginap di rumah mereka, Terkadang aku sedikit  iri dengan mereka yang punya kamar sendiri di rumahnya. Karena aku memang tak punya kamar tetap di rumah. Tapi tak mengapa, sebab aku tak pernah benar-benar menetap di rumah, sebab aku bisa tidur dimana saja selama itu masih di rumah.

Dan hari ini aku semakin jauh dari rumah, dan tentu saja semakin jarang pulang ke rumah. Rumah, adalah tempat aku melepas lelah. Tempat mengenang masa indah bersama Emak dan Ayah dan tempat berbagi kisah atas anugerah dari Allah .

Aku yang jarang pulang ke rumah. Ialah aku yang berusaha menyenangkan hati Emak dan Ayah. Aku paham, berdekatan itu tak selamanya menimbulkan kasih sayang. Dan berjauhan itu tak selamanya menjadi penghalang. Justru jarak yang ada dan waktu yang tercipta  bisa menjadi bumbu atas rasa bernama rindu bukan?

Love u Emak dan Ayah, dari anakmu yang jarang pulang :)

Yogyakarta 4 Okt 14
Happy Ied Adha 1435 H