Sabtu, 27 September 2014

Seni Meminta



Beberapa hari kemarin, aku kembali mengantri di atm langgananku,yakni atm bni belakang fak kedokteran hewan ugm. Sambil mengantri, seorang laki-laki tersenyum menghampiri sambil memberikan sebuah amplop. Nah lo, baru aja mau ambil uang, udah dikasi amplop duluan  ;) . Tapi jangan dikira itu amplop ada isinya y, yang ada cuma tulisan di luar amplop,kira-kira begini bunyinya "Mohon bantuannya untuk anak yatim dan dhuafa, sumbangan anda sangat berarti untuk mereka" ditambah dengan foto anak kecil yang gembira mendapatkan hadiah dan nama sebuah yayasan lengkap dengan alamat, no telp dan no rekening. Keluar dari atm, aku memasukan pecahan dua ribuan ke amplop dan mengembalikannya pada si bapak petugas yang gayanya cukup perlente. Memakai pakaian safari hitam dan sepatu pantofel hitam pula. Sebenarnya aku sendiri kurang yakin, itu yayasan benar-benar ada apa nggak sih, tapi ya kalau ternyata benar aku bisa kualat kan. Jalan amannya memberi lebih baik daripada menerima. Urusan itu yayasan ada apa nggak biar mereka aja yang mempertanggungjawabkannya kelak.

Membicarakan soal minta-meminta ini, berdasarkan observasi di lapangan (pengaruh tesis :p pake di observasi segala) ada banyak cara yang dilakukan. Yang pertama seperti yang diceritakan di atas, umumnya kalau yang beginian adanya dikota-kota besar. Yang kedua mirip dengan yang pertama, hanya beda sasaran saja. Kalau yang pertama sasarannya atm, yang kedua ini langsung door to door. Yang ketiga layaknya peminta-minta kebanyakan, cukup menyediakan kaleng atau kresek. Mereka ini sering kita temui di perempatan lampu merah dan pasar,atau terkadang juga tak segan melakukan door to door bahkan campus to campus. Yang menyedihkan itu, kalau yang mengemis adalah anak-anak yang selayaknya masih sekolah. Atau ibu-ibu yang membawa anak bayi dalam gendongannya. Yang keempat dengan menggunakan amplop juga, tapi atas nama individu. Biasanya yang begini kita temukan di bis-bis antar kota atau provinsi. Dan yang kelima  hasil observasi terbaru yang  aku dapatkan dalam bus dari padang ke jambi sebulan lalu, yakni menggunakan selebaran. Cerita dikit y. Waktu itu bus baru akan berangkat lagi setelah berhenti sebentar di Solok untuk makan dan sholat magrib.
Tiba-tiba seorang remaja naik ke bus. Kira-kira umurnya seusia anak smp. Ia membagi-bagikan kertas kecil berupa selebaran ke semua penumpang. Ni anak mau promo apa ya? Pikirku. Aku memperhatikan selebarannya dan berusaha membaca dalam temaramnya lampu bus. "Assalamualaikum, bapak/ibu,kakak/adik mohon bantuan seikhlasnya untuk sekolah saya dan adik-adik, orangtua kami sudah tidak ada dan kami tinggal bersama nenek kami. Terimakasih. Ttd: yanto."
Tak lama kemudian terdengar suara dari tengah-tengah bus. Yang sialnya, aku bukannya trenyuh tapi mati-matian menahan ketawa. Apa pasal? Habis adeknya pakai bahasa padang dengan nada yang menghiba dan dibuat semendayu mungkin . Aku masih ingat sedikit liriknya.
"Amak, Apak, Kakak, Adiak mohon bantuan saadonyo untuk ambo jo adiak-adiak... dst. Maaflah y diak, ambo indak tahan manahan katawo ma. Selesai bicara, ia mengambil selebaran dan uang dari penumpang yang berkenan menyumbang, termasuk selebaran yang ada padaku. Aku menyerahkan selebaran dan sedikit recehan  masih dengan menahan senyum, sebenarnya pengen ngasih saran, mending pake amplop sekalian deh dek, biar g repot dan praktis.

Kembali ke masalah minta-meminta, Islam sendiri menganjurkan kita untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Banyak sekali surah Alqur'an yang membicarakan hal ini, salah satunya terdapat dalam surat Al-Ma'un. Lalu bagaimanakah kiranya minta-meminta ini dijadikan profesi? Bolehkah?

Sahabat Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”

Jelas bukan, islam sangat tidak menganjurkan untuk meminta belas kasih orang lain, kecuali dikarenakan tiga hal di atas. Lalu bagaimana kita menyikapi peminta-minta yang terkadang kita ragu dengannya. Jika kita memang ragu untuk memberi, katakanlah ucapan yang baik, atau berikanlah senyuman yang terbaik :) , jangan memaksakan memberi tapi kitanya pasang tampang cemberut y, apalagi diiringi kata-kata yang mungkin bisa menyakitkan hati penerima. Sungguh Allah sangat tidak suka dengan perbuatan yang beginian. Memberi tapi menyakiti (QS Albaqarah)

Rasul sendiri mengajarkan kita untuk bijak dalam memberi. Seperti hadis yang diceritakan oleh Anas  bin Malik berikut:

Suatu ketika ada seorang pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?”

Pengemis itu menjawab, “Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir.” Rasul lalu berkata, “Ambil dan serahkan ke saya!”

Pengemis itupun pulang mengambil satu-satunya cangkir miliknya dan kembali lagi pada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian menawarkan cangkir itu kepada para sahabat, “Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?” Seorang sahabat menyahut, “Saya beli dengan satu dirham.”

Rasulullah SAW menawarkannya kembali, “Adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih?” Lalu ada seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham.

Rasulullah SAW memberikan dua dirham itu kepada si pengemis lalu menyuruhnya menggunakan uang itu untuk membeli makanan untuk keluarganya dan sisa uangnya digunakan untuk membeli kapak. Rasullulah SAW berkata, “Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu.” Sambil melepas kepergiannya Rasulullah SAW pun memberinya uang untuk ongkos.

Dua minggu kemudian pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah SAW sambil membawa uang sepuluh dirham hasil dari penjualan kayu. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya untuk membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya seraya bersada, “Hal ini lebih baik bagi kamu, karena meminta-meminta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal, fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu, utang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat sesorang tidak bisa berusaha.“
(H.R. Abu Daud)

Sungguh suatu pelajaran berharga bisa kita tauladani dari Rasulullah SAW. Beliau tidak hanya memberikan sedekah pada fakir miskin, namun juga memberikan ‘kail’ kepada mereka agar kelak mereka bisa hidup mandiri. Subhanallah. Semoga kita semakin bijak dalam memberi.

Jogjakarta 27 9 14

Senin, 15 September 2014

Kisah Dibalik Nama Part II

Masih mau mendengar seputar cerita di balik namaku, ehm nggak juga nggak papa sih, mumpung lagi pingin nulis,sebaiknya nulis aja (ngusir stress tesis :p ).

Sebenarnya ada enak dan tidak enaknya punya nama seperti anak kembar yang sebenarnya nggak kembar. Tidak enaknya adalah. Pertama, aku suka dibanding-bandingkan dengan sepupuku Chandra. Asal tahu aja, si chandra ditakdirkan mempunyai otak yang lebih encer dari otakku. Kejadiannya pas kelas 6 sd. Waktu itu kita (aku dan teman-teman perempuan ) keasyikan main di lapangan, nyampe-nyampe nggak sadar kalau bel masuk sudah berbunyi beberapa menit sebelumnya. Nah, pas masuk kelas pak guru yang cukup kami takuti sudah berdiri di depan kelas sambil menerangkan pelajaran yang paling tidak aku sukai. Yups, matematika. Dan, sialnya lagi diantara temen-temenku yang lain aku ditodong untuk mengerjakan soal yang udah menuggu di papan tulis. Aku pun terpaksa maju, satu dua menit aku hanya memegang kapur sambil menatap ke papan, berharap ada bisikan gaib yang menyuruhku menulis apa gitu, hehe. Lama-lama pak guru yang tak bisa kusebutkan namanya, kasian juga ngeliatku dan mempersilahkan aku duduk. Tapi yang nggak enak itu statementny it loh, "Aduh gimana ini Ndra, sepupunya nggak ketolong " ucap pak guru sambil menoleh ke sepupuku. Mulai detik itu, aku baru sadar kalau punya sepupu pintar tapi kitanya kurang pintar itu nggak enak juga y, jadi bahan pembandingan. Padahal jelas-jelas ini cuma sepupuan doang, kembar identik aja masih ada bedanya apalagi kita, yang jelas-jelas beda emak beda ayah.

Kalau enaknya lumayan banyak sih. Pertama karena si Chandra pintar dan kalau pintar udah pasti terkenal kan y. Jadilah aku ikut-ikutan tenar. Ceritanya nebeng popularitaslah. Secara dari sd kelas 4-6 (yang aku ingat dari kls 4) si chandra selalu rangking 1, dan aku jangan ngarep deh bisa nempatin rangking 1 selama masih sekelas dengan chandra, nemplok di ranking 2 aja udah pakai perjuangan ekstra keras, nyampe-nyampe aku bayangin kapan y bisa jadi juara 1. Haha, y iyalah pengen juga gitu ngeliat rapor dihiasi angka 1 yang super itu. Dan impianku itu terwujud pas kelas 1 smp. Keajaiban akhirnya terjadi juga, itu karena aku nggak sekelas dengan Chandra. Hehe, dan pas juara umum tetep aj jadi rangking 3. Nah, untuk tahun-tahun berikutnya jangan tanyakan lagi, kelas 2 dan 3 sempurna aku mati-matian mempertahankan posisi di 5 besar akibat masuk kelas unggulan.Yang kedua, enaknya itu kalau aku nggak tau PR spesial for mtk dan itung-itungan sejenisnya tinggal tanya aja dengan Chandra. Pertama ya minta jelasin aja, tapi kalo akunya nggak mudeng-mudeng juga y, dengan berat hati aku melihat pekerjaan sepupuku. Hihi, yang berat hati itu aku atau chandra y. Terus kalo pas ujian ni, secara nama kita kan urutan chandra chandri, kalau pembagian ruang ujian otomatis satu ruangan terus kan, lah pas UN aja kita duduk sebelahan. Ya, apalagi kalau udah buntu banget tinggal pasang muka memelas, sambil ngelirik gitu.
Kalau udah gitu Chandra langsung menawarkan pertolongan.

"Nomor berape ti?”

Tapi gak sering-sering amat loh, khusus untuk beberapa pelajaran aja. Dan yang paling parah itu pas UN SMP, pelajaran you know what? Matematika, sempurna jawaban kita sama semua, tepatnya aku mencontek habis-habisan dari Chandra. Alhasil nilainya pun sama sampai ke koma komanya. Masalahnya waktu itu tahun pertama diberlakukan standar kelulusan UN, jadi aku takut sekali kalau kesandung di MTK, dan chandra juga nggak tega kali ngeliat sepupunya nggak lulus. Kalo dipikir-pikir sekarang itu termasuk dosa nggak y? Kalo dosa itu terhitung pas baligh, berarti belum dicatat malaikat (kan masih anak2 :p #ngeles) tapi tetap aja jangan ditiru y. Di masa sd dn smp itu, kadang aku meragukan kemampuan otak ini . Jangan-jangan karena sepupuku aj aku jadi agak pintar. Maka dari itu, setamat smp aku bertekad harus merdeka dari ketergantungan pada sepupuku, ketergantungan? obat kali y. Yah intinya, aku ingin bebas dari bayang-bayangnya Chandra.


Lanjut ke masa SMA, akhirnya kita beda sekolah meski sama-sama hijrah ke kota Jambi. Chandra lulus di SMA 1, dan aku mengikuti keinginan emak masuk ke pontren alhidayah di pal 10 kotabaru. Sebenarny sih, aku juga pengen masuk kesana, sekolah unggulan, favorit pula. Tapi aku paling gak tega nolak permintaan emak yang sudah kecewa dengan abangku yang kabur dari pondok pada tahun kedua. Dan tambah lagi aku ingin bebas dari baying-bayang chandra, tepatnya nggak ketergantungan lagi dalam hal pelajaran . Jadilah aku anak asrama selama tiga tahun. Sayangnya, meski udah bebas dari bayang-bayang chandra tetap aj gak bisa lepas dari namanya.
Kejadian terbaru kemaren, pas nandatangani spj kepanitiaan orientasi pasca UNY, namaku tertulis chandra febri santi. Mbak tukang ketiknya nggak percaya amat ni  namaku chandri bukan chandra. Waktu nyoblos capres n cawapres juga dipanggil chandra febri santi, padahal jelas-jelas disitu tertulis CHANDRI FEBRI SANTI pake huruf kapital pula. Intinya nama chandra lebih familiar dan lebih diterima dari nama chandri.

Dan yang gak enak berikutnya kalau sesi perkenalan. Komentarnya macem-macem. Namany unik ya, ehm lebih halus deh daripada namanya aneh. Orang india y, ini komen dari dosen pragmatikku dulu, ya ampun prof ini betulan nggak tau atau nyindir y, jelas-jelas tampangku nggak ada india-indianya... dan yang paling nggak enak itu kalo komentator nanya, arti namanya apa? Beneran deh, nggak bisa jawab :p


Yogyakarta 15 Sept 14

Kamis, 11 September 2014

Si caca pake jilbab


Seneng itu, ketika dapat kabar dari ayuk kalau si caca (salsabila atsabita haniya) sudah memilih pakai jilbab kalo pergi ke sekolah. Nah, Ini tu foto hari pertamanya masuk SD. Entah apa yang menggerakkan hati caca untuk pakai jilbab. Awalnya aku sudah melakukan jurus pendekatan dengan menawarkan membeli seragam baju dan rok panjang, alhamdulillah tawaran bersambut dengan alasan biar nggak item. Nah, pas giliran nawarin pake jilbab sekalian, langsung dah ditolak mentah-mentah.



"Nah, bajunye panjang, roknye panjang, sekalianlah nak pake jilbab, pasti tambah comel, kepalanye idak panas…"
“Aii, apelah cik te ni. Panas tauk pake jilbab tu.”
Belum juga selesai aku melancarkan serangan, caca sudah motong duluan. Hmm, aku menarik nafas kecewa.
“Ye lah hai, suke-suke caca lah.” 
Aku menyerah.
“Nantek, kalau sudah besak je pakai jilababnye ye”. Ayukku membantu negoisasi dengan menyebutkan jilabab, plesetan caca untuk jilbab waktu dulu. 
“Iye, pas kelas 6 pake jilbab ye, eh kelas 5 lah.” Aku kembali bersemangat.
“Eh, aku nak pegi maen dulu lah.” caca lari keluar, meninggalkan kami yang gagal.

Hari pertama pulang sekolah.
“Kekmane nak sekolahnye?” Tanya kakakku, diikuti dengan aku dan adekku yang siap mendengarkan celotehan caca.
“Ehm, kek itulah.”
“Sudah dapat kawan baru belum, ade yang pakai jilabab dak nak? ” brondongku.
“Ade sikok yang pake jilbab yuk”. Jawab adekku, dia yang bertugas antar jemput caca pagi ini.
“Tu…kan nak, adelah yang pake jilbab”. Tanggapku dengan semangat.
Caca tak menjawab, dia sibuk dengan lengan bajunya yang memang agak kebesaran sambil menggumam lirih.
“Apelah baju budak caca tu, lengannye panjang, digulung pulak tu”. 
“Siape yang bilang caca kekgitu?” Potong kakakku dengan berapi-api.
“Eh, tak adelah muk, kate aku deweklah”. jawab caca sambil senyum. Huah, kami bertiga geleng-geleng kepala.

Sicaca memang agak sensitif dan suka berandai-andai. Terkadang juga suka bersikap dan berbicara layaknya orang dewasa. Dan aku rasa, takdir yang dijalaninya memang membuat ia lebih cepat dewasa dari umur yang sebenarnya. Diumur yang masih balita, ia sudah menentukan pilihan hidupnya. Lebih memilih tinggal bersama nenek dan atuk daripada ikut ibu dan ayah tiri. Bukannya si ayah dan kakak tiri yang kejam, tapi caca merasa lebih aman dan nyaman tinggal bersama kami yang sudah dikenalnya sejak lahir. Jadilah caca sebagai satu-satunya cucu yang besar di rumah kami.


Beberapa hari setelah sekolah, siang itu aku mengajari caca dan nisa, keponakan dari abangku yang juga baru masuk sekolah. Ceritanya aku guru, dan mereka muridnya.

Lagi enak-enaknya nulis,tiba-tiba si caca nyeletuk. 
“Cik te, kalau orang baek tu masuk surge ye?” Ia menolehku, sambil memamerkan gigi-gigi depannya yang ompong.
“Iyelah, kalau baik masuk surge, kalau jahat masuk nerake.” Jawabku kaget, tumben-tumbennya dia yang memulai percakapan tentang surga dan neraka. Biasanya, aku yang memulainya duluan, entah dengan buku cerita,video ataupun sikapnya yang kukaitkan dengan kebaikan dan kejahatan yang akan diperhitungkan oleh Allah. Tentunya dengan logika anak kecil.
“Terus, kalau nak masuk surge tu kekmane cik te?” lanjutnya.
“Ehm, harus sholat, rajin ngaji, baek dengan orang tue, dengan kawan, nutup aurat, pake jilabab.” 
“Aku tak bise ngaji cik te.” Tanggapnya, padahal aku ngarep dia bilang mau pake jilbab ;) .
“Makenye belajar, ok? Nah, mane tugasnye, sini cik te ponten.” Percakapan selesai, dan aku berdoa dalam hati supaya caca kelak jadi anak yang solehah.

Malam minggu kemaren, tepatnya tiga minggu setelah caca sekolah, aku menelpon ke rumah. Biasalah, sekedar berkirim kabar dan menanyakan kabar masing-masing. Terkadang berjauhan itu justru membuat kita menjadi semakin dekat bukan.
"Caca sekarang sudah pakai jilabab cik te." Ayukku langsung memberikan kabar gembira.
“Haa, iye ye?” Aku teriak setengah tak percaya.
“Kok mau?”
Lantas, ayukku menceritakan sedikit tingkah caca sebelum memutuskan untuk berjilbab.
“Muk, ngapelah cik te tu pakai jilbab terus, idak risau ape muk.” Tanyanya di suatu kesempatan.
“Aku nak kayak cik te ah, dak mau pacaran, aku nak kuliah be.” salah satu pernyataanya yang bikin aku senyum sendiri, dikiranya aku nggak pacaran karena karena sibuk kuliah kali y.
“Muk, aku cantik dak kalau pake jilbab, comel dak muk?” tanyanya lagi di kesempatan yang lain.
“Muk, aku mau sekolah pake jilbab lah muk.” Putusnya.

Alhamdulillah, mudah-mudahan istiqamah y nak. Semoga Allah senantiasa menjagamu.
Cat:
@Cik te: asalnya mak cik/kecik, panggilan untuk bibi. Karena dirumah dipanggil santi, jadinya diperpendek lagi jadi te, jadilah cik te. Lagian gak nyambung kali kalo dipanggil cik chan, hehe...terlalu keren itu mah
@Muk: asalnya mak muk/gemuk, panggilan untuk bibi juga. panggilan untuk ayukku yang nomor 4, karena dia yang paling mencerminkan sebutan tersebut :p
@comel: imut .