Senin, 19 November 2012

Gelisah Bernama Resah


 
Gelisah itu datang lagi malam ini
Mengendap, bersembunyi dibalik bayangan semu berwajah  misteri
Meriap-riap dalam deru jantung terpacu, beku
Merajut tali kemelut yang beralamat pada resah
Berontak, mengaburkan tatapan pada kebenaran
Mencari celah yang bernama alasan

Lihatlah dia disana
Gelisah itu tertawa bahagia, mencabik jiwa separuh raga
Memberi isyarat pada hati yang semakin pekat
Menyamarkan pasti yang bernama kebenaran

Nurani di penghujung malam , menggugahkan alam sadarku
Menyentakkan tanya pada diri, beranjak separuh ragu
Membuang belenggu, mengadu pada yang Satu
Kupulangkan resahku pada-Mu

Jambi, 18 November 2012

Jumat, 02 November 2012

Episode 4 Suku Anak Dalam Bag 2


Pagi itu kami sibuk berdisksi. Yups, rencananya kami ingin melakukan survey ke pemukimannya SAD. Mau liat-liat bagaimana kondisi rumahnya, orangnya, segalanya deh pokoknya. Dengan semangat, sdikit cemas, kami pun memulai survey hari itu. Kenapa cemas?Konon katanya, orang-orang SAD dipercaya mempunyai ilmu-ilmu ajaib sakti mandraguna, Karena itulah, sebelum berangkat tadi, bahkan malam tadi begitu banyak hal-hal pantangan yang harus kami ingat-ingat.
“Ingat, jangan ludah sembarangan”. Jangan yang pertama
“Nantek kito dak biso balek lagi ke jambi, ha”. Seram kan
“Jangan pasang muko dak suko” Maka, kami pun bersiap-siap pasang tampang iklan “senyum pepsodent”
Jangan ngomong sembarangan” Jangan yang ketiga. Kami pun mulai berpikir, kira-kira    yang mau ditanyain ntar apa aja ya, jangan nyampe deh salah omong.
“Jangan bertingkah yang aneh-aneh”. Jangan yang keempat. Rasa-rasanya kami nggak ada yang aneh deh, normal semua 
Dan jangan yang terakhir” Jangan-jangan ntar SADnya naksir ma kita-kita “. Huaa ini jangan yang mengerikan, takut dipelet segala macam dah.
Pikiran-pikiran itu terus menghantui kami selama di perjalanan. But, ternyata, sepertinya,..kekhawatiran kami itu terlalu berlebihan deh. Sebab, setelah kami bertemu dan menyapa mereka,semuanya menampakkan wajah yang bersahabat.Tidak ada yang sangar, apalagi bawa-bawa tombak seperti yang sering aku lihat di primitive runway. Alhamdulillah disini SADnya sudah semi modern. Tidak ada lagi yang mengenakan baju ala kadarnya alias cawat atau kain saja. Namun, yang jelas mereka masih tidak terlalu memperhatikan kebersihan rumah dan pakaiannya. Oya, mereka juga sudah menetap di rumah papan semi permanen yang dibuatkan oleh Pt minyak yang beroperasi di Bajubang. Dulunya, sih kata Bu Lurah mereka masih nomaden dari lahan ke lahan (tanah kosong). Rumah yang warna catnya sudah pudar itu kira-kira berukuran 4x6. kalau teman, pernah lihat rumah transmigrasi, seperti itulah bentuknya. Satu rumah bisa dihuni lebih dari satu kepala keluarga. Panggilannya adalah Datuk, dia adalah satu-satunya sesepuh yang masih ada. Dirumahnya, datuk juga tinggal bersama anak, dan cucunya. Kebetulan saat kami berkunjung kerumahnya hari itu, si nenek baru saja selesai makan siang. Nenek makan di atas lantai semen yang sudah hancur menyisakan tanah saja.Dan yang memprihatinkan, nenek makan ditemani dengan seekor ayam, bukan ayam goreng, atau gulai. tapi ayamnya masih hidup. Si Ayam dengan santainya mematuki butiran nasi yang jatuh ke lantai. Ternyata, mereka juga serumah dengan hewan ternaknya. Bahkan tetangga Datuk anjingnya pun ikut masuk ke rumah. (Bersambung dulu ya)